Nasional

AS Alami Resesi, Pemda Jangan Berharap Banyak Pada DBH

189
×

AS Alami Resesi, Pemda Jangan Berharap Banyak Pada DBH

Sebarkan artikel ini
Penulis: Naser KantuSumber Berita
Sri Mulyani

JAKARTA – Negeri Paman Sam diperhadapkan dengan bayang-bayang resesi di akhir Tahun 2022 hingga 2023.

Sebagai kiblat ekonomi global, setiap dinamika perekonomiannya akan berpengaruh terhadap banyak negara.

Selain hubungan kerja sama luar negeri, mata uang dolar AS menjadi mata uang yang paling mendominasi perdagangan dan transaksi internasional.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan efeknya lambat laun akan dirasakan Indonesia.

Awalnya dampak akan dirasakan melalui pasar keuangan, antara lain munculnya capital outflow sehingga memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan saham.

Selanjutnya dampak akan berlanjut ke sektor rill, khususnya ekspor. Diketahui AS adalah mitra dagang utama Indonesia. Sehingga ketika ekonominya melambat, maka permintaan akan negeri paman Sam tersebut akan berkurang.

“Ekspor yang selama ini mencapai surplus juga tidak boleh dianggap terus menerus terjadi,” jelasnya.

Pemerintah daerah diharapkan menyiapkan antisipasi dengan matang. Apabila tidak, maka risikonya bisa merambat ke masyarakat dengan keras.

“Daerah yang mengharapkan DBH biasanya memikirkan dapat tambahan pada saat anda hitung hitung harga sudah berubah lagi ini yang membuat tantangan ini merembet ke kita dalam bentuk harga naik atau turun menimbulkan inflasi dan dampak ke daya beli masyarakat,” papar Sri Mulyani.

Pemicu Resesi adalah begitu agresifnya The Federal Reserve sebagai Bank Sentral AS menaikkan suku bunga dalam meresepon inflasi yang tinggi.

Baca:  Inilah Jam Kerja ASN Selama Bulan Ramadhan

The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% – 1,75%, menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.

“Kami menyerang inflasi dan akan melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk membawanya kembali ke level normal, untuk kami itu di angka 2%. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkannya,” kata Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic, sebagaimana dilansir Reuters.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS saat ini mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% – 3,5%.

Artinya, di akhir tahun suku bunga tersebut akan lebih tinggi dari level yang dianggap netral 2,5% – 2,75%.

Suku bunga netral artinya tidak memacu perekonomian, tidak juga memicu pelambatan ekonomi.

Semakin jauh suku bunga di atas netral, risiko pelambatan ekonomi hingga resesi menjadi semakin meningkat.

Apalagi, sinyal Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi sudah muncul dari inversi imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury).

Baca:  Realisasi Pajak Tembus 1.227,5 T

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat.

Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya.

Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Sementara itu bank investasi JP Morgan mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%. *

error: Content is protected !!