Opini

Dialektika Dosen Ilmuan di Media Sosial

139
×

Dialektika Dosen Ilmuan di Media Sosial

Sebarkan artikel ini
Oleh: Muhadam Labolo

DIALEKTIKA dalam media sosial pada dasarnya menunjukkan sinyal tumbuhnya pengetahuan. Apalagi jika yang berdiskusi sekelompok ilmuan, bukan sebangsa _haters,_ demonstran, atau barisan sakit hati. Bila itu, yang muncul hanya koleksi caci dan umpat, pengumpul kerikil panas, dan pengipas api dendam. Oleh sebab dosen secara normatif adalah ilmuan, wajar jika ragam perspektif muncul dari _lobus frontalis_ sebagai bahan argumentasi. Bila deskripsi argumen dipenuhi data dan fakta artinya ilmuan mendasarkan pada analisis _empirical based._ Disisi lain, bila deskripsi diurai abstraktif lewat analisis teoritik dan bangunan konseptual, ilmuan meletakkan pendekatan _rasional based_ sebagai gaya penalaran. Dua sistem berpikir itu jamak dimana saja, apalagi bila keduanya diintegrasikan dengan positivisme dan instuisi, lengkap sudah.

Didalam ilmu sosial, setiap konklusi bersifat sementara sampai ditemukan kebenaran berikutnya. Relativitas itu selalu diklarifikasi, bahkan diruang publik yang padat opini seperti group _whats up._ Lebih lagi bila sifatnya transedental semacam isu agama. Kata Sobary (2002), agama bukan milik para rohaniawan, juga bukan monopoli orang-orang yang memegang ijazah sekolah agama. Bila selama ini ada lembaga-lembaga yang oleh banyak pihak dianggap memiliki otoritas khusus mengatur perkara agama, itu hanya administratif. Hal ikhwal spiritual tak bisa di _take over_ oleh lembaga agama, betapapun sucinya lembaga tersebut. Komitmen terhadap agama milik semua orang, yang berarti juga milik rakyat. Untuk menjadi pemeluk yang sholeh, orang tak harus menjadi ahli agama. Sudah banyak bukti, orang sederhana dan miskin ternyata lebih sholeh dari orang yang kesana-kemari rapi dengan simbol agama. Mereka menabung untuk berkurban, menyumbang ke panti asuhan, pondok yatim-piatu, bahkan ke lembaga-lembaga agama yang _notabene_ diurus oleh orang-orang berdasi, berijazah, dan beratribut keagamaan.

Didalam lalu-lintas dan akseptabilitas informasi itu, ilmuan mesti memahami jernih dan hati-hati setiap opini yang mungkin sengaja dijual. Sikap skeptisisme penting untuk menguji setiap informasi dan pernyataan. Apalagi bila sifatnya hanya pendapat satu ahli _(ad verecundiam),_ mayoritas _(ad populem),_ penguasa _(ad bacculum),_ sedikit bukti _(ad ignorantiam),_ sentimen pribadi _(ad hominem),_ atau karena rasa iba _(ad misercordiam)._ Itu sesat berpikir menurut ilmu logika _(fallacies)._ Negatifnya, pemikiran skeptisisme berlebihan dapat melahirkan sikap _a priori._ Kampus dapat disangka tak produktif melahirkan solusi tapi lebih dianggap pabrik anarkhi, lantaran setiap kebijakan pemerintah di _rejection_ begitu saja. Ambil contoh dimasa lalu pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak mayoritas dewan sekalipun belum sehelai kertas pun dibacakan.

Akan tetapi, tanpa sikap skeptisisme kita hanya akan menelan mentah-mentah apapun informasi dan pernyataan yang muncul diruang medsos. Agar tetap waras, perlu didiskusikan lewat argumen yang bernas, bukan dengan emosi apalagi kebencian, agar kedalaman pengetahuan kita tak mudah di ukur sepanjang galah oleh orang lain. Syaratnya, diruang diskusi akademik penting membuang feodalisme kampus, alergi kritik, bias gender, birokrasi yang mengabdi pada figur, atau mentalitas dilayani berlebihan dengan menikmati mahasiswa membungkuk-bungkuk sambil mencium tangan dosen, seakan pengetahuan berhubungan dengan kedudukan. Itu mitos kampus yang justru kita tinggalkan sejak kelahiran _logos_ di Yunani kata Rocky (2016).

Baca:  Pelemahan Demokrasi dan Rekonstruksi Parpol

Akhirnya, meskipun dialektika dalam media sosial terbatas marginnya dibanding menulis satu makalah untuk bahan seminar, namun Ia setidaknya telah menyediakan ruang bagi kita sebagai dosen yang ilmuan untuk membangun infrastruktur pemikiran sederhana. Kekuatan itulah yang digunakan mengeksplorasi berbagai isu yang mungkin membahayakan religi, negara dan tradisi, bahkan mengoreksi ortodoksi kampus yang selama ini membunuh daya imajinasi kita, lalu menguburnya lewat birokrasi akademik yang melelahkan. Disitulah esensi dosen ilmuan, bukan sekedar memburu sertifikat doktor, yang mungkin dalam lima tahun kedepan _surplus_ hingga meluap menjadi penjaga kelas, bukan pengajar di kelas. *

(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)

error: Content is protected !!