DKISP Kabupaten Banggai

Opini

Memaknai Kontradiksi Pemerintahan

260
×

Memaknai Kontradiksi Pemerintahan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhadam Labolo

CATATAN Ben Bland, Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Intitute tentang _Man of Contradictions-Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia_ (Sept 2020), menarik untuk dicermati. Buku setebal 180 halaman itu tidak saja mendeskripsikan keberhasilan Jokowi sebagai Pembuat Mebel menangkap imajinasi bangsa Indonesia, juga kemampuannya bertarung mendamaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Pada konteks pertama Ben menjelaskan bagaimana Jokowi merealisasikan mimpi-mimpi ekonominya, memposisikan dirinya ditengah transisi demokrasi dan otoritarianisme serta pergaulan international. Seluruh modal politik tersebut telah mengantar Jokowi ke putaran selanjutnya sebagai presiden.

Menariknya, sekalipun makna kontradiksi diintrodusir sebagai hal yang tidak selalu negatif, namun tekanan pada kalimat memudarnya janji-janji politik, pembangunan dinasti politik, serta pelemahan lembaga anti korupsi yang merespon demonstrasi mahasiswa, setidaknya menyempurnakan sisi positif dan negatif kepemimpinan setiap rezim. Meneruskan penilaian Ben, kontradiksi itu pun semakin terlihat ketika ujian pandemi melanda, Ia dianggap tak menghargai pendapat para pakar kesehatan, tak percaya dengan gerakan masyarakat sipil, serta gagal membangun strategi terpadu. Sedemikian kompleks masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, Ben menyimpulkan Jokowi belum mampu mencairkan strategi ditengah kekecewaan sebagian pendukungnya, dan bahkan terjebak sebagai Walikota ditengah Istana.

Baca:  Menerawang Prospektus Amandemen

Menurut saya, diagnosis Ben seperti dua sisi mata uang yang melengkapi signifikansi uang itu sendiri. Tanpa keduanya uang tak akan bernilai apa-apa. Kepemimpinan dalam pemerintahan pun memiliki wajah yang sama, gambar dan nilai. Sisi gambar menunjukkan estetika yang mencipta popularitas hingga menarik untuk dipilih. Sisi lainnya soal kualitas dari nilai kepemimpinan kita yang dapat melambung atau bahkan terhempas karena kehilangan nilai tukar. Nilai tukar itu menurut Ndraha (2002) terletak pada soal realitas janji yang kemudian membentuk kepercayaan _(trust)._ Tanpa itu kepemimpinan pemerintahan kehilangan makna, kehilangan spirit moralnya, kecuali seonggok artefak mata uang yang dapat dikoleksi atau disimpan di museum.

Baca:  Guru Sejarah Sebagai Motivator
error: Content is protected !!