Opini

Membatasi _Cukong_ Dalam Pesta Demokrasi Lokal

205
×

Membatasi _Cukong_ Dalam Pesta Demokrasi Lokal

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhadam Labolo

SURVEI INES tentang pertimbangan masyarakat memilih menunjukkan 50,3% karena uang, 22,4% iklan, 17,2% program, sisanya 10,1% karena visi (Rep, 20 Nov 2012). Data itu setidaknya mengkonfirmasi bahwa daya tarik paling _sexy_ dalam pilkada tak jauh dari aktivitas _saweran._ Itu potret dilapis terbawah, belum lagi pesta dilevel atas. Semua pesta lokal itu membutuhkan biaya. Biaya tak mungkin ditanggung paslon, dia membutuhkan pihak lain, _cukong_ kata Mahfudh MD (Sept, 2020). Pada 1950an istilah _cukong,_ dalam bahasa Hokkian merujuk ke pengusaha, majikan, atau bos tertinggi. Di era 1960an istilah _cukong_ diproduk orde baru bersifat negatif serta menunjuk pada suku tertentu yang kerap melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam perbisnisan (wikipedia, 2020).

Ketika mekanisme pilkada dilepas ke pasar bebas, yang tumbuh adalah pemegang modal, kaum kapitalis. Dulu para pemodal menyemut di pusat. Pasca desentralisasi mereka berbondong-bondong mengangkat koper ke daerah, berjudi lewat pilkada. Praktis para spekulan dan rentenir kelas kakap pun hanya migrasi dari sentrum kekuasaan ke _local-government_ (Olson, 2005). Apalagi peran pemerintah sebagai _invisible hand_ dibatasi sejauh mungkin, dinamika pasar bergantung pada kontrak _demand & supplay._ Disini hukum ekonomi-politik mendapat tempat, berlangsung telanjang dengan opsi _nomer piro wani piro_ (npwp).

Di era orde baru hingga akhir 2004, kepala daerah dipilih wakil rakyat ditingkat lokal DPRD. Bila anggota DPRD berjumlah 45 orang maka _absolute mayority_ (51%) harus dicapai dengan 23 suara. Umumnya para calon akan mendistribusikan nutrisi bagi 30 orang atau sekitar 67% dari 45 orang. Besarnya nutrisi berkisar 30-100 jt/orang tergantung potensi ekonomi daerah rendah, sedang hingga tinggi. Taruhlah sedang, maka besar nutrisi yang harus disiapkan sekitar 40 jt kali 30 orang, 1,2 M.

Bandingkan dengan pilkada dewasa ini, setidaknya setiap paslon mesti melalui empat tahapan yaitu biaya nominasi, pelaksanaan pilkada, iklan/promosi, serta biaya jadi. Pada daerah paling miskin di salah satu provinsi misalnya, biaya nominasi paling sedikit 300 jt untuk pendekatan partai, pendaftaran dan biaya penyaringan internal. Biaya pelaksanaan pilkada lebih kurang 7 M yang terdiri dari pengganti transport, timses, mobilisasi, pelumas aparat desa, toga, tomas, dan serangan fajar dalam bentuk pembagian sembako. Biaya promosi sebesar 300 jt terdiri dari iklan, spanduk, umbul-umbul, poster, stiker, media cetak, dan media elektronik. Sedangkan biaya jadi sebesar 400 jt sebagai ungkapan terima kasih kepada sejumlah orang, upacara dan pesta syukuran. Total cost sekitar 8 M. Sekali lagi itu hanya gambaran paslon di daerah paling miskin. Dalam 15 tahun terakhir, _political cost_ pilkada melonjak lebih tiga kali lipat. Bandingkan dengan gaji pokok kepala daerah yang hanya berkisar 2,7-3,5 jt ditambah tunjangan. Fakta ini semakin meyakinkan mengapa peran _cukong_ sangat dibutuhkan. Lalu dimana sumber masalahnya?

error: Content is protected !!