Kolom Muhadam

Menata Alokasi Penjabat Kepala Daerah

169
×

Menata Alokasi Penjabat Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini
Penulis: Muhadam Labolo

Oleh: Muhadam Labolo

PUTUSAN MK No.67/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa anggota TNI-Polri hanya dapat diangkat menjadi Penjabat Kepala Daerah ketika yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Amar MK ini sekalipun terang-benderang, namun tak kuasa dieksekusi lantaran beririsan dengan beleid lain.

Bila diteliti semangat UU ASN No.5/2014, UU TNI No 34/2004, UU Polri No.2/2002, UU Pemda No.23/2014, UU Administrasi Pemerintahan No.30/2014, serta UU Pilkada No.10/2016 terlihat betapa sulitnya melerai tumpang-tindih pengaturan soal posisi seseorang dalam status sebagai aparat pemerintah dan aparat negara yang diberi tugas tambahan di jabatan politik.

Dengan alasan itu, ada baiknya pemerintah merelaksasi aturan teknis alokasi Penjabat Kepala Daerah yang akan berakhir di penghujung 2022 dan 2023. Alasannya, pertama, secara teknis memperjelas posisi seseorang dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah. Hal ini memberi kepastian atas regulasi sektoral, mana aturan spesialis yang tunduk pada aturan generalis, dan mana aturan kecil yang tunduk pada aturan besar (lex spesialis derogat lex generalis, lex superior derogat lex inferior).

Kedua, moment pengisian penjabat saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Aturan lama hanya mengatur masa jabatan normal dan bersifat short time, bukan long time sebagaimana hari-hari ini. Pengaturan itu penting sebab menimbulkan konsekuensi berlapis di level terendah. Semisal terciptanya kekosongan posisi di sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dikarenakan pejabatnya berstatus Penjabat Kepala Daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Vacuum of job itu membutuhkan pengisian dengan status pelaksana harian dan dalam limitasi waktu tertentu.

Baca:  Mengaktifkan Pranata Sosial

Ketiga, sebenarnya, pengisian jabatan akibat ditinggal kepala daerah yang kurang dari setahun telah di atur dalam Pasal 65-66 UU 23/2014 Tentang Pilkada. Namun masalah muncul ketika posisi kepala OPD yang ditinggal lebih dari setahun kembali kosong. Pengisian ini setidaknya memperjelas status seseorang sebagai pelaksana harian dengan jangka waktu terbatas. Tanpa aturan soal itu, Penjabat Kepala Daerah setiap bulan mesti membuat surat perpanjangan pelaksana harian. Ini jelas tak efektif, selain tugas dan fungsinya yang dibatasi.

Aturan teknis itu akan menegaskan afirmasi masa jabatan seorang pelaksana harian sekaligus fungsinya yang terbatas, atau mungkin sama dan sebangun dengan wewenang seorang Penjabat Kepala Daerah. Ini penting guna mengurangi kebingungan birokrasi di level pemerintah lokal. Pengaturan teknis itu sekaligus menyempurnakan durasi transisi baik status seseorang sebagai Pj, Plh, Plt, dan Pjs di pusat dan daerah.

Keempat, dalam perspektif kebijakan, pemerintah boleh saja tidak menindaklanjuti putusan MK sepanjang aturan yang ada dinilai memadai. Meminjam Dye, public policy is whatever governments to do or not to do. Namun dalam sudut pandang politik pemerintahan, alokasi penjabat kepala daerah saat ini tidak saja berimplikasi luas dan berdurasi panjang pada jabatan politik, juga mencegah politik transaksional dan memberi kepastian hukum (legal certainty).

Kelima, penyesuaian teknis itu berfungsi mengurangi tensi kegaduhan pasca pelantikan 5 penjabat gubernur tahap pertama, serta mendongkrak defisit trust bagi pemerintah. Selain alasan di atas, penataan pola mekanisme rekrutmen Penjabat Kepala Daerah dilingkungan Kemendagri memperjelas personifikasi seseorang yang akan dipromosi sebagai Penjabat Kepala Daerah. Hal mana menguatkan legitimasi dan prinsip transparansi.

Baca:  Ibukota Negara, Administratif atau Otorita?

Keenam, aturan teknis sejogjanya memperjelas pola rekrutmen Penjabat Kepala Daerah dengan melibatkan komite sederhana di lingkup Kemendagri, tahapan, teknis pengusulan, pertimbangan, termasuk relasi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Panitia adhoc melibatkan stakeholders baik top down maupun bottom up. Tak lupa penegasan soal kewajiban gubernur mengusulkan, dan hak pemerintah menetapkan Penjabat Kepala Daerah. Demikian pula penghapusan konsideran insidentil yang tak relevan menjadi alasan penunjukan Penjabat Kepala Daerah. Ini menyudahi kesan pembangkangan gubernur dalam hal usulan yang berseberangan.

Ketujuh, sekali lagi agar pengaturan teknis ini memperjelas posisi polisi dan tentara dalam ruang sipil pasca putusan MK, sebaiknya dipertegas bahwa sekalipun UU ASN membolehkan Polisi dan Tentara duduk pada sejumlah instansi yang berhubungan dengan profesionalitas mereka, namun dalam menjalankan fungsi Penjabat Kepala Daerah sebaiknya konsisten dengan amar putusan MK, yaitu pensiun dari institusi induk, kecuali beralih-fungsi permanen sebagai ASN di posisi setaraf dengan JPT Madya atau Pratama. Sejauh hanya mengisi lowongan sementara dan masih terikat aktif pada institusi induk sebaiknya tak dibolehkan.

Pengaturan itu sekaligus menjaga spirit reformasi yang kini mulai bocor halus pasca 24 tahun reformasi, dimana tugas aparat keamanan dan pertahanan dimasa normal cukup mengawal demokrasi (back to barracks) bukan kembali berperan ganda (dwi fungsi). Daya jangkau aturan teknis ini bisa bersifat non retroaktif atau sebaliknya guna memberi keadilan bagi semua, sekaligus tegak lurus dengan aturan diatasnya. *

error: Content is protected !!