DKISP Kabupaten Banggai

Kolom Muhadam

Merawat Negara Bangsa

547
×

Merawat Negara Bangsa

Sebarkan artikel ini

Negara bangsa dapat eksis bergantung kemampuan kita menjaga konsensus. Konsensus dapat dipelihara melalui disiplin transformasi nilai-nilai dasar dari generasi ke generasi. Tanpa keseriusan kita hanya menanti kehancuran total sebagaimana Balkan dan Soviet yang berakhir menjadi negara-negara seluas provinsi dan kabupaten. Kita bukan mereka, dan mereka pun bukan kita. Setiap negara lahir melalui suasana kebatinan masing-masing.

Kelebihan negara bangsa mudah berubah sesuai dinamika. Artinya, konsensus dapat terjadi di atas prinsip konstitusionalisme. Konstitusi kita bukanlah kitab suci yang sakral, dia profan dan nasionality. Fleksibilitas itu sekaligus menjadi kekurangannya, mudah dikendalikan oleh suara mayoritas yang memenangkan pertarungan kuasa. Tanpa keseriusan mengawal, negara bangsa hanya boneka bagi kaum kapital dan oligarchi.

Negara agama meletakkan teks suci sebagai pondasi bernegara. Semangatnya bukan konsensus, tapi keyakinan absolut pada seperangkat sistem kepercayaan ciptaan Tuhan (teosentrik). Ikatannya kesatuan iman dengan tujuan yang lebih luas, dunia dan sesudahnya. Meski begitu, teks-teks suci pada akhirnya bergantung pada otoritas tafsir manusia sebagai konsensus tunggal yang paling di terima. Warga cukup patuh tanpa perlu mempertanyakan. Tanpa kontrol, negara agama tak lebih dari tahta suci yang tertutup dan cenderung despotik.

Negara agama pun dapat eksis sepanjang konsensus terhadap otoritas tafsir dapat dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Bila tidak, bukan mustahil dapat hancur berkeping-keping sebagaimana kasus negara-negara di Timur Tengah. Otoritas agama sangat menentukan dalam mengarahkan tujuan negara, sekaligus alam pikir warganya. Sejauh mereka terkontrol, negara relatif baik-baik saja. Namun siapa yang dapat mengontrol otoritas ortodoks semacam itu.

Meski begitu, negara dalam perspektif bangsa dan agama hanyalah media bagi upaya mewujudkan tujuan manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Negara hanya alat, bukan tujuan yang sebenarnya. Perangkat mencapai kesejahteraan di dunia menurut kaum nasionalis, atau wadah mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat menurut kaum agamis. Untuk maksud itulah tak jarang alat seringkali di adendum dan di tafsir kembali menurut konsensus warganya.

Baca:  Mengais Puasa Pasca Lebaran

Dengan memahami dialektika para tetua bangsa itu, kita dapat memahami reasoning paling realistis atas pilihan masa depan kita hari-hari ini. Tentu saja ada banyak contoh negara bangsa yang sukses dan rontok di sekeliling kita. Sama halnya, kenyataan negara agama yang eksis dalam tradisinya sekaligus contoh keruntuhannya yang menyayat kalbu. Semua kembali pada konsensus dan kontrol warganya.

Menyadari itu semua, kita memilih negara bangsa tanpa mengecualikan agama sebagai sumber nilai bernegara (simbiotik). Maknanya, semua konsensus mesti dipertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada Tuhan dan manusia. Diakui bahwa negara dan agama secara kelembagaan tak selalu bersama, namun negara dan agama dalam perspektif nilai selalu bersentuhan secara aktif maupun pasif. Semua itu dapat ditemukan lewat konstitusi dan sistem bernegara. Disinilah tugas moral kita, merawat negara bangsa. *

error: Content is protected !!