Iklan

Opini

Momentum Perbaikan Kualitas Empati Kemanusiaan

265
×

Momentum Perbaikan Kualitas Empati Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Farhat Abbas

BERBAGI kebahagiaan. Itulah di antara makna mengapa kaum fakir-miskin – tanpa memandang perbedaan etnis, suku bangsa dan agama – mendapat prioritas zakat fitrah. Setidaknya, Surat At-Taubah : 60 menggambarkan prioritas sesuai urutan mustahiq dan tiadanya pembedaan sang penerima zakat fitrah itu. Yang perlu kita telaah lebih jauh, benarkah kaum fakir-miskin bahagia atas penerimaan zakat fitrahnya?

Advertisement
Scroll to continue with content

Tentu, siapapun kaum fakir-miskin senang atau bahagia saat menerima zakat fitrah pasca jalani ibadah Ramadlan. Tapi, apakah kebahagiaan itu bisa dirasakan dan dinikmati? Pertanyaan ini layak kita lontarkan sejalan dengan kondisi obyektif lainnya. Apakah zakat fitrah yang diterimanya langsung bisa dikonsumsi? Jika harus dimasak terlebih dulu, berarti harus ada biaya tertentu untuk mengolahnya agar sampai bisa dikonsumsi. Maka, jika ia tak memiliki biaya, berarti kebahagiaan penerima zakat fitrah hanya sebatas menerima, belum sampai pada satu titik: kenikmatan karena bisa mengkonsumsinya. Sisi lain, juga layak kita pertanyakan lebih lanjut, apakah kebahagiaan penerima zakat fitrah itu hanya sekejap, kakatakanlah sehari karena ketersediaan bahan pangan yang diterimanya?

Dua pertanyaan tersebut menggerakkan pertanyaan lebih lanjut, apakah konsep keberpihakan Islam terhadap kalangan fakir-miskin hanya sebatas itu? Tentu tidak. Kiranya, desaian keberpihakan (empati) terhadap kaum fakir-miskin lebih jauh dari itu. Sangat ideal bagi prinsip kemanusiaan. Itulah sebabnya kita dituntut untuk menggali makna proyektif zakat fitrah.

Baca:  Memahami ‘Sikap Menuntut Kesempurnaan’

Terkait zakat fitrah, ada panduan hadits yang diriwayatkan Iman Bukhori-Muslim:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ

(Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum untuk orang muslim, baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat fitrah sebelum berangkat (ke masjid atau lapangan) untuk shalat ‘Iedul Fitri.

Jika menengok hadits riwayat Imam Bukhori-Muslim tersebut, kita jumpai jenis zakat fitrah yang dikeluarkan Rasulullah itu tsamar (buah kurma). Satu hal yang perlu kita garis-bawahi, apa yang dikeluarkan beliau untuk zakat fitrah adalah buah matang yang langsung bisa dinikmati tanpa biaya tertentu. Di sisi lain, kita juga bisa mempertanyakan, mengapa Rasulullah berzakat fitrah dengan kurma? Imam Bukhori dan Muslim – dalam sebuah hadits menyampaikan, “Barangsiapa yang pada pagi hari mengkonsumsi tujuh buah kurma, maka seharian pada hari itu, ia tak akan terkena racun ataupun sihir”.

Baca:  Dirikan Partai Pandai, Farhat Abbas Gandeng Elsya Syarief dan Dokter Lois

Dengan kualitas zakat fitrah seperti ini, maka kita bisa menganalisis secara medik dan ekonomi bahwa kaum fakir pantas bahagia saat itu. Ia tidak dibayang-bayangi biaya harus mengolah lebih dulu barang zakat firtah itu. Juga, bahagia karena manfaatnya secara medis.

Memang, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori-Muslim itu, juga ditegaskan “….atau gandum (syaiiran)” dengan ukuran sama: satu sha (sekitar 2,5 kg). Perlu kita garis-bawahi, urutan kedua “atau” – secara lengguistik – merupakan cara pandang alternatif. Karena itu, cara pandang ini akan memenuhi standar yang dibenarkan jika memang obyek pertama zakat fitrah sulit didapat. Dengan mendasarkan analisis lengguistik ini, kita perlu mempertanyakan bagaimana kualitas obyek zakat fitrah gandum (sya`iiran), padahal belum mendahulukan kurma sebagai obyek zakat fitrah?

Pendekatan analisis gramatikal itu akan menampak urgensinya mengapa harusnya mendahulukan alternatif pertama, yakni tsamar (kurma). Ada konsekuensi logis yang memang mengandung implikasi sosial-ekonomi yang cukup mendasar. Memperkuat dan atau mengabaikan urutan pertama (kurma) dibanding gandum berdampak konstruktif dan destruktif bagi kepentingan umat manusia bahkan pembangunan sejumlah sektor lainnya. Jika commited untuk mendahulukan kurma, maka di sana akan terlihat penggaruh konstruktifnya. Dan sebaliknya jika mendahulukan gandum (pangan pokok) sebagai obyek zakat fitrah.

error: Content is protected !!