DKISP Kabupaten Banggai

Opini

Momentum Perbaikan Kualitas Empati Kemanusiaan

269
×

Momentum Perbaikan Kualitas Empati Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini

Kita tahu, kurma yang dikeluarkan Rasululullah dan hal ini kemudian kita kenal “kurma Nabi” atau kurma Ajwah. Jika kita refleksikan komoditas zakat fitrah ke zaman kini, kita jumpai nilai bahwa kualitas super kurma Ajwah Madinah sekitar Rp 350.000,- per kg. Berarti, jika kita ittiba` Rasul, zakat fitrah sekitar Rp 875.000,- per muzakki fitrah. Sementara, jika kita mengambil standar gandum atau konversi qiyashinya – untuk Indonesia dalam bentuk beras – hanya Rp 35.000 hingga Rp 45.000,- per muzakki fitrah. Sangat jauh komparasinya.

Analisis angka itu menjadi krusial dalam kontek menjawab kebutuhan psikologis (kebahagiaan) bagi sang penerima zakat fitrah. Secara teoritik, keceriaan apa yang bisa diharapkan dari sang penerima zakat fitrah dengan beras 2,5 kg atau senilai Rp 35.000 hingga Rp 45.000,-? Juga, jika tetap bahagia dengan penerimaan itu, berapa jam pancaran wajah ceria itu? Hal ini – dengan pahit – bisa kita tegaskan, “Betapa sadis dan melecehkan ketentuan zakat firah bagi kaum dlu`afa”.

Bukan tak mungkin, hal ini bisa menjadi faktor alergisitas, menjauhnya atau tidak hormatnya kaum fakir-miskin terhadap Islam, hanya karena persoalan zakat fitrah yang bisa diterjemahkan cukup mengecilkan keberadaan kaum fakir-miskin itu. Sebaliknya, jika konversi zakat fitrah dengan kurma Ajwah, setiap penerima zakat fitrah sudah terbayang jelas nilainya. Untuk pribadi, setidaknya, sekitar seminggu, ia tampak ceria karena tak ada beban ekonomi. Andai dalam serumah tersebut ada empat jiwa yang tercatat fakir-miskin, maka di depan mata, keluarga itu menerima Rp 3.500.000,-. Nilai total ini – secara teoritik – bukan hanya mengantarkan keceriaan para fakir-miskin, tapi berdampak lebih jauh secara konstruktif: kian mencintai Islam. Inilah zakat fitrah yang sarat dengan dimensi dakwah: memperdekat dengan agama yang dianutnya, bukan sebaliknya.

Kini, kita meneropong ke spektrum yang lebih jauh dalam kontek pro pengentasan kemiskinan. Kita tahu zakat fitrah itu wajib dikeluarkan bagi setiap muslim, baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa yang dikeluarkan sebelum berangkat (ke masjid atau lapangan terbuka) untuk shalat ‘iedul fitri” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Baca:  Orang Kaya dan Politik di Banggai, Kekayaan sebagai Kepantasan

Berangkat dari pijakan hadits Imam Bukhori-Muslim, maka penunai zakat fitrah di Tanah Air ini jauh di atas angka 229,62 juta (Global Religius Future, 2020). Tidak tertutup kemungkinan mencapai angka 250-an juta jiwa muzakki fitrah. Hal ini sejalan dengan jumlah muzakki berusia anak-anak masuk sebagai pihak yang harus mengeluarkan zakat fitrah.

Kini, kita mengkalkulasi secara proyektif, jika standar zakat fitrah dengan ittiba` Rasul (kurma Ajwah), maka dalam masa akhir Ramadlan tercatat potensi Rp 218.750.000.000.000 (dua-ratus delapa-belas trilyun, tujuh-ratus lima-puluh milyar rupiah).

Total potensi zakat fitrah itu akan menjadi solusi yang sangat fantastik bagi kepentingan pro pengentasan kemiskinan. Sesuai data kemiskinan negeri ini – menurut data BPS 2019 – berjumlah 24,79 juta jiwa. Dan sejalan dengan covid-19 ini – menurut catatan sejumlah pengamat – terjadi lonjakan sekitar 30%, sehingga jumlahnya tak kuang dari angka sekitar 32 juta jiwa. Jika total keterkumpulan zakat fitrah itu didistribusikan ke muzakki prioritas (fakir-miskin), maka per individu mendapatkan Rp 6.835.937,5. Andai mustahiq lainnya “memaksa” harus dibagi, setidaknya, kaum fakir-miskin – karena asas prioritas seperti yang tertuang dalam Surat At-Taubah : 60 itu – bisa mendapatkan porsi lebih besar. Angka kisaran Rp 5.000.000,- bukanlah angka mengada-ada. Dalam suasana duka (keterbatasan pendapatan) seperti saat ini, jelaslah nilai Rp 5 juta sungguh punya makna yang luar biasa. Bagai THR yang tak diimpikan, karena selama ini tak pernah diterima angka sebesar itu, kecuali bagi kaum eksploitator.

Andai skenario kalkulatif itu diberlakukan dalam sistem zakat fitrah, maka ajaran yang diwajibkan ini sungguh memenuhi potensi standar kualitas empati kemanusiaan. Barangkali, sudah saatnya para pencancang kebijakan zakat fitrah perlu mengkaji ulang terhadap persoalan zakat fitrah yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun berjalan.

Baca:  Kemenag Tetapkan Zakat Fitrah Rp28 Ribu per Jiwa

The last but not least, kalkulasi proyektif zakat fitrah seperti ini sungguh merupakan kontribusi riil ajaran Islam untuk semua, tanpa diskriminasi, apalagi mengkriminalisasi dan persekusi. Dan negara sejatinya terbantu dengan ketentuan Islam itu. Tanpa harus menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang kita kenal dengan “Perppu Corona” yang kini telah disyahkan menjadi UU, kaum muslim – melalui instrumen zakat fitrah – sesungguhnya bisa berkontribusi besar untuk ikut atasi problem sosial-ekonomi yang kian menyayat. Juga, sebenarnya tak perlu pinjaman Bank Dunia sebesar AS$ 700 juta (sekitar Rp 10 trilyun) akibat pandemik covid-19.

Ketidakbutuhan itu sejalan dengan kalkulasi proyektif jika pengeluaran zakat fitrah dengan standar kurma, bukan beras atau makanan pokok atau konversinya yang kini berlaku di tanah air (uang senilai beras). Juga, karena realisasi pinjaman Bank Dunia yang menambah akumulasi utang luar negeri kita yang sudah melampau ambang batas (lebih dari 30% APBN) dan itu sesungguhnya pelanggaran serius bagi UU Keuangan Negara. Bahkan, juga seharusnya tak perlu relokasi APBN sebesar Rp 405,1 trilyun itu karena sarat dengan potensi penyalahgunaan. Dan itulah desain yang membuat pengamanan dini secara hukum (tak terkenan secara pidana) dalam Perppu Corona bagi pejabat pembuat dan pengguna dana atas nama covid-19 itu.

Karena itu, kami dari keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai, zakat fitrah bisa menjadi momentum untuk berbagi kasih (empati kemanusiaan) yang jauh lebih berkualitas. Dan kiranya, tidaklah berlebihan jika keluarga besar PANDAI memprakarsai model zakat fitrah yang sarat dengan dimensi kemanusiaan. Kini saatnya, not the next. Saat akhir Ramdhan ini dan akhir ramadlan-ramadkan selanjutnya. Keluarga besar PANDAI bisa memberikan teladan konstruktif untuk misi kepedulian dan kemanusiaan. Bismillah. Kita peduli dengan kaum dlu`afa, Allah pun akan peduli kepada kita. *

Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

error: Content is protected !!