DKISP Kabupaten Banggai

Kolom Muhadam

Otonomi Baru Jakarta

145
×

Otonomi Baru Jakarta

Sebarkan artikel ini
Produk

Oleh: Muhadam Labolo

JAKARTA pasca lepas atribut ibukota negara mau kemana? Begitu judul sebuah diskusi mini dalam rangka menyiapkan _policy paper_ bagi masa depannya. Jakarta secara konseptual dapat saja di desain seperti kota-kota besar diberbagai negara, persoalannya bagaimana memposisikannya dalam konteks normatif sehingga selaras menurut konstitusi dan undang-undang.

Selama ini, Jakarta adalah Ibukota Negara dengan sumbu otonominya di level provinsi (UU 29/2007). Semua entitas dibawahnya adalah bagian dari perangkat daerah otonom Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, sebagaimana provinsi lain, diletakkan pula sebagai wilayah administrasi pemerintah pusat. Dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta juga wakil pemerintah pusat di daerah.

Sebetulnya, duplikasi Jakarta sebagai wilayah administrasi tak diperlukan, kecuali sebagai daerah otonom murni. Alasannya, semua entitas kota dan kabupaten dibawah provinsi seperti Jakarta Pusat, Selatan, Utara, Timur, Barat hingga Kepulauan Seribu bukanlah daerah otonom yang perlu diawasi sebagaimana provinsi di luar Jakarta. Semua entitas itu adalah perangkat daerah otonom provinsi yang langsung dibawahinya.

Sebagai wilayah administrasi, semua provinsi diberi tugas dan wewenang mengawasi kabupaten/kota otonom. Dengan asumsi pusat tak mungkin mengawasi kabupaten/kota yang sedemikian banyak (514), maka cara efektifnya mengangkat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di daerah (Suwandi, 2005). Masalahnya, dibawah Provinsi DKI Jakarta tak ada lagi daerah otonom, kecuali entitas administrasi sebagai perangkat pelaksana pemerintahan dari walikota sampai lurah.

Baca:  Kawal Dugaan Politik Uang Ketua Gerindra Banggai, Budi dan Ipul Layangkan Surat ke Sejumlah Lembaga Negara di Jakarta

Secara konstitusional, daerah dapat dibedakan sebagai daerah simetrik dan asimetrik (18B ayat 1 & 2 UUD 1945). Daerah asimetrik pada umumnya diperlakukan berbeda dari sisi tertentu (politik, ekonomi, dan sosial budaya). Dari susunan luarnya daerah dikenali sebagai daerah otonom dan daerah administrasi (UU 23/2014). Status provinsi sendiri berduplikasi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi. Realitas ini menjadikan provinsi berperan _fused model,_ tak terkecuali Jakarta.

Dengan realitas itu, Jakarta kedepan idealnya cukup sebagai daerah otonom murni. Keuntungannya, Jakarta akan lebih lincah dan kreatif guna mengembangkan diri sebagai wilayah perkotaan yang khas. Otonomi luas itu akan mendorong Jakarta mengembangkan diri sebagai kota bisnis nomor satu di Asia Tenggara. Titik berat otonominya akan memberi ruang yang lega bagi pengembangan sektor ekonomi, sosial budaya, dan politik lokalnya.

Pengembangan ekonomi perkotaan akan lebih mungkin jika Jakarta inklusif bagi ragam bisnis terbaik di dunia. Pulau-pulau reklamasi dan terpencil dapat menjadi penopang pariwisata. Sementara wilayah Tanah Abang dan Mangga Dua dapat menjadi sentral perdagangan international. Transportasi dan infrastruktur tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam mencipta mobilisasi urban ke sentra-sentra ekonomi.

Baca:  Ketua PKS Banggai Hadiri Rakernas di Jakarta, Rahmat: Kami Optimis Tambah Kursi

Aspek sosial budaya sebaiknya ditekankan bagi pengembangan kemajemukan warga sebagai titik kekhasan. Miniatur tenun kebangsaan dapat ditemukan di Jakarta yang mewakili seluruh keanekaan. Identitas Jakarta adalah identitas keIndonesiaan yang paling representatif dipertontonkan sekaligus contoh soal bagaimana hidup bersama dalam harmoni perbedaan. Ini tantangan besar di tengah politik identitas menjadi momok kemaren,  hari ini, dan nanti.

Walau demikian, unsur-unsur minoritas seperti Orang Asli Betawi (OAB) penting mendapatkan perhatian sebagaimana afirmasi bagi kelompok tertentu di Provinsi Papua. Eklusivitas itu tak lain kecuali dengan maksud menjaga histori selain merawat keunikan dan kearifan lokal. Mereka pun tidak sekedar menjadi tontotanan, juga dilibatkan dalam proporsi politik pemerintahan.

Bagian terakhir itu tentu saja perlu di atur sebaik mungkin agar alokasi kelompok minoritas terakomodir dalam ruang parlemen lokal bila tidak di tingkat eksekutif. Bila ruang legislatif lokal di Papua dapat diisi oleh sedikit-banyak representasi Orang Asli Papua (OAP), ada baiknya hal yang sama diberlakukan pula bagi Orang Asli Betawi (OAB) di parlemen lokal Jakarta. Inilah kira-kira isi otonomi baru Jakarta ke depan. *

error: Content is protected !!