Opini

PETAHANA DALAM PUSARAN KONFLIK KEPENTINGAN PILKADA

381
×

PETAHANA DALAM PUSARAN KONFLIK KEPENTINGAN PILKADA

Sebarkan artikel ini
Aswan Ali

Untuk membahas persoalan tersebut kita perlu  melihat contoh kasus di beberapa daerah, dimana terdapat petahana yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) tersebut, namun kemudian diloloskan oleh Bawaslu dan KPU setempat sebagai calon dengan alasan oleh karena yang bersangkutan  (paslon petahana) telah mencabut SK penggantian pejabat  dan mengembalikan lagi pejabat tersebut  ke posisi jabatannya semula. Salah satu daerah yang mengalami peristiwa seperti itu yakni Kota Kupang di NTT.  Sang petahana Walikota Kupang  Jonas Salean ternyata diloloskan sebagai salah satu  Paslon,  padahal  sebelumnya tanpa persetujuan tertulis dari Menteri  ia telah melakukan penggantian pejabat dengan melantik beberapa pejabat eselon di Pemkot Kupang, dalam waktu  kurang dari 6 (enam) bulan sebelum penetapan Paslon Pilkada.

Kasus tersebut sempat dipersoalkan oleh Paslon lainnya, namun Bawaslu NTT dan KPU serta Panwaslu  Kota Kupang tetap menindaklanjuti pencalonan  Jonas Salean  sebagai calon Walikota  Kupang  pada Pilkada 2017. Dasar yang dijadikan acuan oleh Bawaslu NTT dan KPU Kota Kupang  untuk meloloskan pencalonan  Jonas Salean selaku petahana, yaitu Surat Edaran (SE) Bawaslu RI No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 Tgl. 20 Oktober 2016 Perihal: Pedoman Penanganan Terkait Perbuatan Penggantian Pejabat sebagaimana diatur Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016, dimana isinya antara lain berbunyi, “Dalam hal gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota menerbitkan keputusan baru yang mengembalikan pejabat yang dipindahkan kepada posisi semula maka perbuatan penggantian pejabat tersebut tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU No. 1 Tahun 2015 dan Pasal 71 UU No. 10 tahun 2016”.

Namun persoalannya tidak berhenti disitu. Paslon lainnya, yaitu Cawali Jefirstson R. Riwu Kore sebagai Pengadu I  kemudian mengadukan kasus tersebut kepada DKPP dengan alasan  bahwa para Teradu  telah melanggar asas mandiri dan adil, asas kepastian hukum, dan asas jujur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 huruf a dan huruf j, Pasal 11 huruf a, huruf c, dan huruf d, serta Pasal 12 huruf a Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pengadu II yaitu Jonas Salean, Cawali petahana yang diloloskan sebagai peserta Pilkada Kota Kupang tahun 2017.   Sebagai pihak Teradu I s/d Teradu V adalah Ketua dan anggota Bawaslu RI, yaitu Muhammad, Nelson Simanjuntak, Nasrullah, Daniel Zuchron, dan Endang Wihdaningtyas. Sedangkan Teradu VI s/d Teradu VIII adalah Ketua dan anggota Bawaslu NTT, masing-masing Nelce RP. Ringu, Jemris Fointuna, dan  Albert J.J. Benu. Sedangkan Teradu IX  s/d Teradu XIII yakni Ketua dan anggota KPU Kota Kupang, yaitu Marianus Minggo, Daniel Bangu Ratu, Lodewyk Fredrik, Deky Ballo, dan Maria M. Seto Sare. Selanjutnya Teradu XIV s/d Teradu XVI adalah Ketua dan anggota Panwaslu Kota Kupang, yaitu Germanus Attawuwur, Noldi Tadu Hungu, dan Ismael Manoe.

Mereka diadukan oleh Pengadu I ke DKPP  karena diduga melanggar kode etik penyelenggara Pemilu karena menjalankan kewenangannya secara tidak profesional dengan  mengabaikan pemberlakuan ketentuan undang-undang yang mengatur konsekwensi hukum bagi pejabat petahana yang melanggarnya.

Baca:  Ketika Runtuh Moral dan Integritas KPU Banggai

Pertimbangan Majelis DKPP yang diketuai Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan  anggotanya, Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H,M.H; Dr. Nur Hidayat Sardini, S.Sos, M.Si; Pdt. Saut Hamonangan Sirait, M.Th;  dan Ida Budhiati, S.H, M..H, atas kasus tersebut antara lain menyatakan: “Berkenaan dengan penerbitan SE. No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016, DKPP menilai bahwa Teradu I, Teradu II, Teradu III, Teradu IV dan Teradu V sejatinya memiliki niat baik untuk menghadirkan solusi secara  segera atas persoalan menyangkut penggantian pejabat oleh Paslon Petahana yang terjadi di sejumlah daerah. Namun DKPP berpendapat bahwa niat baik Teradu I, Teradu II, Teradu III, Teradu IV dan Teradu V tersebut tidak diiringi dengan langkah kebijakan yang tepat. Memilih untuk menerbitkan SE daripada menetapkan suatu peraturan dengan maksud mengisi kekosongan regulatif semacam lembaga Badan Pengawas Pemilu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22B UU No. 10 tahun 2016 tidak hanya menunjukkan kelemahan dalam hal managemen regulasi, tetapi juga memperlihatkan celah retak dalam pemahaman mengenai asas referensi hukum tata kelola peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan dan mengganggu tertib penyelenggaraan Pemilu, terlebih pada saat aturan yang lebih tinggi telah secara limitatif menegaskan sanksi seperti halnya ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016. Teradu I, Teradu II, Teradu III, Teradu IV, Teradu V telah bertindak tidak  profesional  dan melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 huruf a Kode Etik Penyelenggara Pemilu”.

error: Content is protected !!