Oleh: Herdiyanto Yusuf
Mungkin terdengar gila. Tapi beneran ada eksperimen yang menyimpulkan begini: surga lah yang menyebabkan kepunahan manusia. Bukan surga akhirat yang dijanjikan agama manapun, melainkan surga dunia—sebuah analogi situasi di mana semua kebutuhan tersedia tanpa batas.
KESIMPULAN ini muncul dari serangkaian eksperimen yang dilakukan John B. Calhoun pada 1954–1972. Calhoun membangun kandang tikus yang nyaris sempurna: makanan dan minuman tak pernah habis, suhu ideal, kandang selalu dibersihkan dan tak ada ancaman pemangsa. Awalnya hanya empat ekor tikus yang ditempatkan di sana.
Dalam setiap 55 hari, mereka berkembang biak dengan cepat, melahirkan generasi demi generasi. Pada hari ke-315 kondisi masih aman. Interaksi sosial tetap stabil, seolah surga buatan itu tak punya celah.
Namun sehari kemudian, tanda-tanda penyimpangan mulai muncul. Tikus-tikus yang semula hidup berdampingan membentuk koloni, memicu penindasan dan kekerasan antarindividu—tua melawan muda, jantan melawan betina. Bahkan kanibalisme terjadi meski makanan dan minuman tetap melimpah.
Seiring waktu, tikus jantan menjaga jarak dari betina. Parahnya lagi, perilaku hubungan sesama jenis muncul. Sementara tikus yang masih mampu bereproduksi mulai menelantarkan anak-anaknya. Akibatnya populasi pun merosot tajam. Puncaknya, pada hari ke-560 seluruh tikus mati.
Eksperimen ini diulang 25 kali dan selalu berakhir sama. Karena itu John B. Calhoun menamakannya Universe 25—sebuah “surga” yang justru membawa kepunahan.
Kesamaan genetik antara manusia dan tikus membuat eksperimen ini terasa lebih relevan daripada sekadar kisah hewan laboratorium.
Hasil pemetaan genom menunjukkan sekitar 70–80 persen gen manusia memiliki padanan pada tikus, termasuk gen yang mengatur sistem saraf, hormon, dan perilaku sosial.
Dengan kata lain, pola stres, dorongan reproduksi, dan respons terhadap kelimpahan sumber daya bekerja di bawah perangkat biologis yang sangat mirip.
Apa yang terjadi pada koloni tikus bukan sekadar fiksi ilmiah; itu potret kemungkinan yang bisa menimpa masyarakat manusia bila lingkungan sosialnya meniru “surga” tanpa batas.
Dalam dunia birokrasi kita, misalnya, anggaran yang melimpah kerap menjelma menjadi surga semu—memberi rasa aman sekaligus memancing hasrat pamer yang perlahan menggerus kesadaran akan tugas pelayanan publik.
Mematikan kepekaan bahwa di bawah sana rakyat kesulitan hidup. Yang menyebabkan jurang disparitas sosial terasa makin menganga. Jurang yang berulang kali disinyalir menyebabkan kemarahan publik belum lama ini.
Surga anggaran tanpa sadar telah menyalakan hasrat pamer seperti: ah, tak perlu diulang dan diuraikan lagi di sini.
Lihat saja di grup-grup WhatsApp atau linimasa media sosial—jejaknya berserak jelas.
Jika surga buatan itu tak dibatasi, kelimpahan yang seharusnya menyejahterakan justru akan menjerumuskan birokrasi ke dalam jurang yang sama dengan Universe 25—kemunduran, disfungsi, dan pada akhirnya kepunahan sosial.
Di Banggai, Wakil Bupati Furqanudin Masulili sudah membaca gelagat itu. Dalam rapat evaluasi serapan anggaran belum lama ini, Furqanudin secara lugas mengingatkan kembali pejabatnya dan para abdi negara agar segera berhenti flexing.
Maka, kalau di sinetron ada Surga yang Tak Dirindukan, mungkin inilah surga yang seharusnya tak diperlukan. Kesenangan yang tampak sempurna, tetapi justru membawa kehancuran bagi siapa saja yang terbuai. *



