Oleh: Supriadi Lawani
AKHIR-akhir ini, di berbagai kota termasuk kota kecil seperti Luwuk, kita bisa melihat fenomena baru di ruang publik: joging atau jalan pagi menjadi bagian dari gaya hidup populer.
Di taman kota, jalur dua, atau sekitar stadion, setiap pagi dan sore tampak orang-orang berlari kecil dengan pakaian olahraga yang seragam dalam selera—sepatu Nike, kaus Adidas, legging sport premium, jam tangan pintar, hingga kacamata hitam yang modis.
Namun yang menarik, banyak perempuan juga tampil dengan riasan wajah yang rapi, lipstik tipis, alis tersusun, bahkan parfum yang menyebar samar.
Seolah olahraga bukan semata menjaga kebugaran tubuh, tapi juga ajang memperlihatkan diri—sebuah ritual tampil yang memadukan tubuh sehat dan citra menarik.
Joging pun menjadi panggung sosial tempat penampilan dan merek berperan lebih penting dari keringat yang menetes.
Dalam perspektif teori simbolik kritis, terutama dari Pierre Bourdieu, fenomena ini menunjukkan bagaimana aktivitas keseharian sarat dengan makna sosial dan distinction — pembedaan kelas.
Joging bukan lagi praktik netral; ia menjadi arena untuk memamerkan modal simbolik dan modal kultural.
Mereka yang berolahraga dengan peralatan mahal dan busana bermerek tengah menegaskan posisinya sebagai bagian dari kelas menengah-atas—mereka yang punya taste, waktu luang, dan sumber daya untuk merawat tubuh secara estetis.
Perempuan yang ber-make up saat joging juga tidak semata ingin tampil cantik, tapi sekaligus menegaskan keberadaannya di ruang publik yang masih sarat norma.
Tubuh perempuan di sini menjadi tanda sosial — simbol kesuksesan, kerapian, dan kontrol diri.
Ia bukan sekadar tubuh biologis, tapi tubuh yang diatur, dipoles, dan ditampilkan untuk publik.
Jean Baudrillard mungkin akan menyebutnya sebagai bentuk fetisisme tanda: ketika tubuh dan merek bersatu menjadi objek konsumsi visual.
Joging pun bertransformasi menjadi komoditas citra — tentang siapa yang terlihat sehat, cantik, dan berkelas.
Yang menarik (dan ironis), di tengah semarak ini, jarang sekali tampak orang-orang dari kelas bawah bergabung.
Joging dengan sepatu biasa atau pakaian sederhana seolah menjadi “tidak pantas” di ruang yang kini secara simbolik telah dimiliki kelas menengah.
Kesehatan publik pun menjadi semacam kemewahan simbolik, bukan hak yang setara.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana tubuh, pakaian, bahkan aktivitas sesederhana berlari, telah menjadi bahasa sosial baru yang menegaskan siapa kita di mata orang lain.
Joging bukan sekadar olah tubuh, tetapi olah citra. Sehat menjadi gaya, dan gaya menjadi alat pembedaan sosial.
Kita perlu berhati-hati agar semangat hidup sehat tidak berubah menjadi pawai status.
Karena tubuh yang sungguh sehat tidak memerlukan label merek atau lapisan bedak.
Ia lahir dari kesadaran, bukan dari konsumsi. Joging seharusnya membebaskan, bukan memisahkan. *
Penulis adalah petani pisang, kadang – kadang jadi advokat.


