Oleh : Supriadi Lawani
“SUDAH tapi belum.” Ucapan Presiden Joko Widodo yang dulu dianggap sekadar guyon politik ternyata menggambarkan logika berpikir bangsa kita hari ini.
Logika ini tidak hanya hidup dalam pembangunan fisik, tetapi juga dalam cara negara memaknai sejarah dan memberi penghargaan pada tokoh-tokohnya.
Lihat saja pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Ia memang memimpin Indonesia selama tiga dekade, tetapi sejarah juga mencatatnya sebagai presiden dengan pelanggaran HAM berat: Tragedi 1965, Tanjung Priok, Talangsari, serta praktik korupsi melalui yayasan yang bahkan sempat diputus bersalah oleh Mahkamah Agung.
Namun ironisnya, tokoh-tokoh yang selama ini justru menentang dan menjadi korban rezimnya—seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marsinah—juga diberi gelar pahlawan.
Gus Dur dikenal lantang membongkar kejahatan masa Orde Baru, sementara Marsinah adalah buruh perempuan yang diculik, disiksa, dan dibunuh karena memperjuangkan hak-hak pekerja.
Lalu bagaimana mungkin Soeharto, Gus Dur, dan Marsinah bisa berdiri sejajar dalam altar penghargaan yang sama?
Inilah wajah nyata dari logika “sudah tapi belum.” Kita sudah mengakui jasa, tapi belum menuntaskan kebenaran sejarah. Sudah memuliakan korban, tapi belum berani menyebut pelaku.
Logika seperti ini lahir dari politik akomodatif yang tak jelas pijakannya.
Ia ingin menyenangkan semua pihak tanpa menanggung risiko moral.
Dalam politik seperti ini, pelanggar HAM bisa menjadi pahlawan karena “jasanya sudah ada,” sementara dosa-dosanya dianggap “belum perlu dibicarakan.”
Akibatnya, gelar pahlawan kehilangan maknanya. Ia berubah dari simbol moral menjadi alat kompromi politik.
Negara tampak ingin menulis sejarah tanpa konflik, padahal sejarah kita penuh luka yang justru perlu dihadapi, bukan disamarkan.
Kita sedang hidup di tengah kontradiksi itu: rezim yang menindas dan korban yang ditindas dipuja bersamaan.
Mungkin inilah warisan terbesar dari logika “sudah tapi belum” — bangsa yang terus bergerak, tapi belum benar-benar tahu ke mana akan menuju. *
Penulis adalah petani pisang


