Oleh: Muhadam Labolo
DIALEKTIKA ruang publik dipadati mobilitas isu dan laporan. Isu melimpah hingga sulit memastikan keajegan dan hoax. Laporan meluap ke penegak hukum, saling menegasi eksistensi. Masing-masing heroik membuktikan benar atau salah, haram atau halal, etis atau tidak, kebohongan atau kepalsuan.
Malangnya, pemanasan lokal di ruang publik tak hanya dipicu oleh penyakit mental masyarakat yang latah isu baru, juga disuburkan oleh ketimpangan ekonomi, emosi religi, konflik sosial politik, bahkan kebijakan pemerintah. Pada tingkat global tak kalah menarik perang tak seimbang antara Beruang Merah dengan sebuah negara kecil di Eropa Timur.
Setiap ekspresi pikiran dalam ruang publik pada dasarnya dilindungi negara. Batasannya adalah kebebasan orang lain yang di atur hukum. Namun hukum yang terbatas itu tak selamanya mampu menjangkau persoalan masyarakat. Hukum baru menyentuh bagian terpenting dalam hubungan subjek dan objek. Basisnya nilai, norma, agama dan etika yang tumbuh dalam masyarakat.
Sebagian besar yang tak di atur menjadi konsensus sosial. Konsensus itu bersifat partikular dan relatif mengikat anggotanya. Negara cukup mengontrol konsensus tersebut sebagai pranata sosial. Pranata sosial itu dijalankan oleh lembaga-lembaga sosial. Perselisihan sepak bola cukup diselesaikan oleh asosiasi sepak bola. Bentuknya bisa sanksi, denda, kartu kuning, merah hingga reward.
Dalam sengketa buruh cukup diselesaikan oleh asosiasi buruh. Demikian pula aturan teknis ritual seperti Adzan, cukup dimusyawarahkan dewan masjid. Perbedaan pandangan antar umat beragama difasilitasi oleh majelis umat beragama. Lewat lembaga itu pranata sosial yang hidup dapat membantu menyelesaikan isu-isu sektarian dan temporal di luar hukum positif (Cohen,1983). Dengan begitu negara tak berat sebelah dan tak interventif.
Pendekatan hukum fungsional semacam itu dapat mengurangi beban pemerintah menyelesaikan masalah sosial yang terus berkembang. Apalagi diwadahi media sosial tuna etika. Menjamurnya laporan mulai isu halal-haram hingga ketersinggungan seorang Dalang tak perlu antri di kantor polisi. Setiap asosiasi religi dan perkumpulan budaya dapat duduk menyelesaikan masalah internalnya.
Discussion about this post