Oleh: Muhadam Labolo
BIROKRASI sipil paling rentan berubah. Berubah sesuai kepentingan politik. Di Indonesia, birokrasi cenderung dikendalikan kekuasaan walau nyata-nyata sistemnya menetralisir lewat ketentuan netralitas aparat sipil negara. Fakta itu tak hanya kental di pusat, lebih-lebih di daerah. Semakin dekat ke sumbu kekuasaan, birokrasi sipil semakin tak rasional. Birokrat sipil terjepit oleh sistem. Maju kena, mundur kena.
Di sejumlah daerah kita mudah menemukan isi birokrasi hanyalah kumpulan anak, menantu, ponakan dan istri (AMPI). Ini mengingatkan noktah hitam orde baru yang dipadati lapisan karat nepotisme. Posisi-posisi kunci dikuasai anggota dinasti. Semua prosedur standar dalam merit system dikangkangi. Bilapun dilakoni hanya sandiwara. Menggugurkan kewajiban administrasi. Kompetisi belum dimulai, pemenangnya sudah terang-benderang.
Mereka yang tak kompeten bisa melenggang mudah ke puncak birokrasi. Seleksi hanya akal-akalan. Di pusat, mereka yang duduk sebagai pelaksana tugas sembilan puluh persen telah jadi lewat sistem ijon. Lainnya hanya pemanis buatan. Di daerah, alokasi jabatan bergantung wani piro & setor piro. Organisasi pemerintah daerah benar-benar di lelang. Dilelang sesuai kualifikasi jabatan, mulai harga puluhan sampai ratusan juta rupiah. Mekanisme pasarlah yang menentukan seperti kasus Nganjuk & Probolinggo tempo hari. Ini open dompet, bukan open bidding.
Bisnis jabatan OPD sudah bukan rahasia lagi. Semua bukan hanya tahu sama tahu, mungkin sudah tempe sama tempe, keduanya enak dilahap. Politisi butuh kepastian distribusi sumber daya ke kantong-kantong pengepul kemenangan. Korbannya OPD yang diperah lewat tim sukses. Sementara birokrat sipil butuh jabatan untuk kepastian masa depannya. Inilah simbiosis mutualistik yang sering berakibat tanggung rente.
Politisasi birokrasi menjadikan birokrasi kehilangan marwah. Reformasi birokrasi hanya pepesan kosong yang menghabiskan waktu, tenaga dan anggaran. Satu-satunya alasan di desain untuk menghindari akumulasi penilaian pusat soal kinerja daerah. Nilainya pun bisa di katrol. Setali tiga dengan kinerja keuangan, berlomba menggapai nilai wajar tanpa pengecualian, meski dengan mengorbankan anggaran siluman untuk status itu.
Birokrasi sipil sulit berubah. Apalagi jika digawangi politisi yang tak paham spirit dan cara kerjanya. Dibilang lamban padahal proses pelayanan membutuhkan ketelitian baik manual maupun sistem. Teliti saja bisa di buih, apatah lagi bila membiarkan administrasi berjalan ibarat pocong. Bila pun usai belum tentu aman. Tak sedikit politisi dan birokrat ditangkap tangan sekalipun jelas-jelas daerahnya berstatus wajar tanpa pengecualian.
Cara kerja birokrasi sipil jelas beda dengan militer dan polisi. Polisi memang sipil bersenjata, namun prosedur kerjanya tak jauh dari militer. Cirinya, sentralistik, ketat hirarkhi, dan berorientasi hasil. Sementara birokrasi sipil cenderung fungsional, humanis, dan berorientasi proses. Perbedaan itu membuat outputnya pun tak sama. Yang pertama bisa cepat dengan hasil buruk. Yang kedua bisa lambat dengan hasil memuaskan. Tentu saja kita tak hanya ingin cepat, juga benar-benar bermutu, bukan pula bermuka tua.
Memahami budaya kerja birokrasi sipil yang khas itu, pola rekrutmen pun berlainan. Kompetisi di tingkat top manajer mesti melalui berbagai persyaratan standar, open bidding misalnya. Tujuannya mendapatkan sumber daya birokrasi yang berkualitas di posisi tertentu. Ini beda dengan birokrasi militer-polisi yang ditentukan cukup oleh dewan kepangkatan untuk tujuan pertahanan dan keamanan. Mereka mungkin lebih dekat ke birokrasi Weber.
Kompetisi dalam ruang birokrasi sipil bertujuan menemukan pejabat yang benar-benar memiliki kompetensi dibidangnya, dari yang spesialis hingga generalis. Dicari pejabat primus interpares dari Sabang sampai Merauke biar tak kehabisan stok. Orientasinya pelayanan publik nirmiliter dan nirpolisionil. Kecuali dalam kondisi tertentu, birokrasi sipil biasanya diisi oleh pejabat militer-polisi. Tour of duty itu sebenarnya biasa, tergantung situasi, kebutuhan dan standar yang fairness.
Standar dimaksud misalnya, bila syarat untuk duduk sebagai pejabat tinggi madya dan pratama harus melalui open bidding, sejogjanya semua peserta dari militer dan kepolisian pun tunduk dan patuh pada mekanisme itu. Bukan loncat pagar, apalagi transit sambil mencari jalan tikus menuju posisi tertinggi. Itu jelas unfairness, diskriminatif, dan melukai perasaan birokrat sipil. Mungkin ada benarnya satire seorang birokrat, di sipil harus sesuai aturan main. Diluar itu, aturanlah yang harus dimainkan. *
Discussion about this post