Mengacu pada catatan empirik itu pula, maka suara kontrarian tidak bisa menerima gagasan liar yang menghendaki perpanjangan masa jabatan presiden saat ini. Dalam kalkulasi jangka pendek, perpanjangan kekuasaan Presiden Joko Widodo hanya akan mengantarkan kondisi negara lebih hancur. Tatanan ekonomi bukan melejit sampai 7% seperti yang dijanjikan saat kampanye, di samping 65 janji lainnya yang tidak terpenuhi. Fakta bicara, pertumbuhan ekonomi semasa pemerintahannya – sejak 2014 – masing-masing tercatat: 4,79% (2015), melambat dari setahun sebelumnya, yakni 5,02%. Pertunbuhan pada 2016 mencapai 5,02% (2016), Pada 2017 naik sedikit: menjadi 5,07%. Pada 2018 sebesar 5,17%. Dan akhir kekuasaan Jokowi (2019), pertumbuhan ekonominya turun: menjadi 5,02%. Dan setahun pertama dari periode kedua pemerintahan Jokowi, yakni 2020, terjun bebas: pertumbuhan – 2,19. Bisa dipahami kontraksi pertumbuhan ini. Proyeksinya 2021 – mengutip catatan ekonom Rizal Ramli – tingkat pertumbuhannya hanya kisaran 2% dari setahun lalu. Berarti, pertumbuhan ekonominya dalam posisi -0,19%. Tapi, dengan PPKM Darutat dan jika terjadi lebih lama lagi, maka pertumbuhan semakin negatif.
Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut – menurut rilis Bank Dunia per 1 Juli lalu – menjadikan Indonesia turun peringkatnya: dari negara menengah atas menjadi menengah bawah. Secara spesifik, Bank Dunia mencatat bahwa penurunan tingkat itu juga didasarkan tingkat GNP perkapita yang turun, dari AS$ 4.050 (2019), menjadi AS$ 3.870. Menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin, dengan capaian ekonomi yang terkategori rendah bisa meningkatkan distribusi kesejahteraan?
Di sisi lain, ketidakmampuan capaian pertubuhan ekonomi – akibat ambisi pembangunan fisik – posisi utang luar negeri (ULN) terus meningkat. Per Februari 2021 sudah mencapai US$ 422,6 milyar atau sekitar Rp 6.169,96 trilyun. Akibat PPKM Darurat dan jika harus utang lagi, maka posisi ULN berpotensi menembus angka di atas Rp 7.000 trilyun. Trennya meningkat. Sejalan dengan pandemi covid-19 dan kini diberlakukan PPKM Darurat, ULN Indonesia berpotensi menaik lagi cukup signifikan.
Potensi kenaikan ULN sejalan dengan konsekeunsi pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari untuk 115.242.970 jiwa bagi enam provinsi se Jawa-Bali sebagaimana yang diwajiban UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, Pasal 7. Andai masing-masing dialokasikan anggaran Rp 100 per jiwa dikalikan 18 hari efektif PPKM Darurat, maka terhitung angka Rp 204,7 trilyun. Ketika berkaca pada catatan pemberlakuan PSBB yang diperpanjang beberapa kali, maka PPKM Darurat ini pun berpotensi masa perpanjangan bisa lima kali. Jika itu terjadi, maka kewajiban negara untuk mangalokasikan anggaran Rp 1.023 trilyun. Asumsi perpanjangan masa PPKM tak lepas dari inkosistensi kebijakan. Se-Jawa-Bali berlaku ketat. Sementara, dalam masa bersamaan, terjadi arus datang tenaga kerja asing (TKA) China yang berpotensi menerbarkan covid-19 yang sudah berkembang variannya. Mutasinya melalui udara.
Sisi lain, terdapat sejumlah kebijakan Jokowi yang – relatively – tidak bikin anak-bangsa ini happy. Banyak skenario pembenturan, karena perbedaan keyakinan ataupun afiliasi politik. Sehingga panorama kriminalisasi, persekusi dan praktik diskriminasi sering dipertontonkan. Semua ini menambah ketidakkohesifan hubungan antarwarga negara. Format politik terkesan kuat dibangun dalam bingkai devide et empera, atau politik belah-bambu. Hal ini jelaslah kian mengaburkan spirit kebersatuan yang digariskan Pancasila (sila ketiga).
Catatan minus kinerja pemerintahan Jokowi akan semakin menampak jika kita urai lebih jauh sejumlah data kemiskinan (saat ini mencapai 27,55 orang), penurunan indeks pembangunan manusia (IPM) yang kini pada posisi 71,94 dan indeks demokrasi kita – menurut catatan The Economist Intelligent Unit (EIU) – Indonesia berskor 6,48. Terkategori skor rendah. Dan skor ini diakibatkan brutalisme penindakan aparat keamanan terhadap rakyat yang mengekspresikan perbedaan pendapat. Sementara, skor tertinggi 9,81, diraih Norwegia.
Akhirnya, kita bisa mencatat secara dini, bahwa pemerintahan saat ini gagal mewujudkan janji politiknya. Karena itu, andaikan perpanjangan masa jabatan tiga periode dipaksakan, tekad ini hanya akan menggerakkan berbagai elemen berseberangan secara ekspresif. Berujung pada kondisi negeri semakin tenggelam dalam ranah konflik horisontal, bahkan vertikal. Dalam tatarain elitis, barisan seperti dari PDIP akan menyingsingkan lengan perlawanan. Boleh jadi, berdarah-darah. Meski landasannya pragmatis – yakni pertimbangan kepentingan mengantarkan puteri mahkotanya (Puan Maharani sebagai next generation bagi keluarga trah Soekarno) – tapi sikap politik PDIP ini akan bersatu dengan kelompok lainnya, meski selama ini berseberangan. Titik temu kepentingan – sekali lagi meski beda kepentingan politiknya – akan menjadi kekuatan strategis saat menghadapi gerakan sistimatis yang memaksakan kehendak perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi sang presiden.
Sebagai keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa pemaksaan masa jabatan presiden tiga periode sangat serius implikasinya. Yaitu, perpanjangan masa jabatan yang digemakan sebagai upaya memaksimalkan capaian pembangunan justru berujung pada perang saudara. Negeri ini – di depan mata – bisa jadi akan berpuing-puing. Rakyat pun dibikin kian sengsara. Sudah cukup kesengsaraan itu. Karena itu sebaiknya tak perlu membuka peluang Pasal 37 UUD NRI 1945 sebagai pintu masuk amandemen Pasal 7 yang bertujuan sempit: perpanjangan masa jabatan presiden. Jika dipaksaksan dibuka gerakan politik yang sangat pragmatis itu, haruslah muncul kemauan politik orang-orang di parlemen yang heroik. Atas nama nasionalisme dan negeri ini tak boleh tergadaikan, atau negeri ini harus tetap berdaulat, maka seluruh anggota MPR nyatakan tegas: stop amandemen Pasal 7 konstitusi kita. Karenanya, tidaklah berlebihan ketika PANDAI dan seluruh elemen bangsa ini yang mencintai negeri ini menitip pesan politik kepada seluruh anggota dan pimpinan MPR saat ini, “Jangan kemasukan angin duduk yang bisa bikin stroke. Bisa fatal total akibatnya. Demi eksistensi sebuah negara dan bangsa ini. Inilah legascy indah politik MPR RI yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia”. *
Jakarta, 12 Juli 202
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post