
Iktikaf menjadi pelengkap totalitas hadiah puasa yang kita berikan kepada Allah Swt di bulan Ramadan.
Karena puasa dalam hadis qudsi hanya dihadiahkan untuk Allah Swt, maka tidak sepantasnya bila hadiah itu hanya karena kita menahan lapar, dahaga, dan syahwat saja.
Sedangkan waktu kita masih terbuang untuk dunia, istirahat kita masih cukup, dan HP kita masih asyik berkomunikasi.
Tidak. Hadiah itu harus utuh. Lapar, dahaga, dan menahan syahwat, juga harus diiringi dengan mengasingkan diri dari dunia. Fokus mengisi waktu dengan beribadah. Hanya asyik berkomunikasi dengan Allah SWT.
Inilah salah satu sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan iktikaf. Para istri Rasulullah SAW seperti yang disampaikan oleh ‘Âisyah RA juga melaksanakan iktikaf. Generasi salaf juga menunaikannya.
Sehingga mereka heran bila sunah iktikaf di bulan Ramadan tidak menjadi prioritas di sepuluh terakhir.
Seperti komentar Imam az-Zuhri ketika tentang keutamaan iktikaf, “Saya heran melihat kecenderungan sebagian manusia yang tidak melaksanakan iktikaf. Padahal Rasulullah terkadang melaksanakan sesuatu dan meninggalkannya. Sementara iktikaf tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sampai meninggal dunia.”
Hiruk-Pikuk Kehidupan
Memasuki sepuluh terakhir Ramadan, mari kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan. Saatnya kita lari dari dunia, dan menghambur kepada Allah SWT. Ayo kembali me-recharge baterai jiwa kita dengan iktikaf.
Saatnya kita menutup semua pintu makhluk untuk membuka selebar-lebarnya pintu Sang Khalik.
Memang rasanya tidak lengkap bila hanya mengibadahkan jasad sejenak dalam rangka meraih predikat takwa.
Rasanya belum cukup bila hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat untuk mendapatkan kunci pintu Ar-Royyan di akhirat. Kita juga harus mengistirahatkan akal dari materi.
Lalu memfokuskan rohani hanya kepada sang Ilahi. Berlari menuju Allah Swt. dengan segenap raga dan hati. Agar Allah SWT memberikan ampunan-Nya yang tak bertepi. Menganugerahkan seribu bulan-Nya yang kita cari. *
Discussion about this post