Usai mengeksekusi mati keempat punggawa istana itu, Lucius kemudian menggumpulkan rakyatnya dilapangan terbuka. Dihadapan ribuan hamba sahayanya, Lucius berpidato. Ditengah-tengah pidatonya itu terlontar sebuah ungkapan yang kemudian jadi terkenal hingga saat ini, terutama dikalangan para sarjana hukum dan pemerhati dunia peradilan. Kata Lucius, “Fiat justitia Ruat Coelum”. Artinya, biar pun langit akan runtuh keadilan harus ditegakkan.
Lantas apa relevansinya cerita diatas dengan konteks Pilkada di Kabupaten Banggai? Secara harfiah memang sulit menghubungkan ceritra diatas dengan fakta Pilkada di daerah ini. Apalagi kisah itu bukan menceriterakan tentang suksesi kepemimpinan dalam suatu kerajaan.
Namun benang merah berupa “morality story” dalam kisah tersebut dapat diambil hikmahnya. Pertama, seorang penguasa itu haruslah arif dan bijaksana dalam bertindak maupun memutuskan sesuatu. Tidak boleh arogan, apalagi otoriter. Sebab sikap arogan dan otoriter itu akan mematikan akal sehat. Dan akal sehat itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik melalui serangkain interaksi dialog dengan pihak lain. Kedua, dalam menjalankan kewenangannya, seorang penguasa itu senantiasa harus bersikap penuh hati-hati. Berhitung dengan tepat segala resiko dan dampak lain yang kemungkinan bisa terjadi dibelakang hari, setelah keputusan itu diambil dan dijalankan. Contoh kasus di daerah ini, dimana putusan pejabat yang berwenang, itu dijalankan secara tidak tepat, oleh karena tidak bijak dan hati-hati dalam memutuskannya. Kasus yang dimaksud itu adalah ekseskusi lahan di Tanjung (luas ± 6 ha) yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Luwuk, Ahmad Yani bersama Panitrenya, tahun 2017 lalu.
Eksekusinya itu sendiri faktanya berhasil dilakukan dengan cara paksa, yakni berhasil merobohkan ratusan rumah warga sampai rata dengan tanah. Bahkan sebagian warga dilahan tereksekusi itu berhasil pula dipindahkan ke tempat lain. Namun apa lacur yang terjadi? Setelah pemohon eksekusi dari ahli waris Ny. Berkah Albakar mengeluarkan biaya eksekusi (diduga) mencapai miliaran rupiah, tiba-tiba eksekusi tersebut dibatalkan kembali oleh Ketua PN Luwuk, Ahmad Shuhel Nadjir, setelah Ahmad Yani dicopot dari jabatan Ketua PN Luwuk lalu dimutasi ke PN Kendari dengan sanksi sebagai hakim non palu (tidak boleh mengadili perkara). Alasan pembatalan, oleh karena eksekusi tersebut dinilai cacat secara hukum.
Ny. Berkah Albakar adalah salah seorang ahli waris Salim Albakar yang sebelumnya dari tahun 1996-2003 dinyatakan oleh pengadilan (MA) sebagai pihak pemenang atas gugatan lokasi tanah di Tanjung itu. Objek sengketanya dalam perkara gugatan intervensinya melawan Hadin Lanusu dan Husen Taferokila, itu yakni dua bidang tanah berukuran luas ± 672 M2 (bandingkan dengan luas bidang tereksekusi ± 6 Ha.).
Tapi ada hal yang lebih aneh lagi. Dalam proses pembuktian secara hukum peradata atas sengketa lahan tersebut, sebenarnya ahli waris Salim Albakar yang diwakili oleh Achmad Bakar, dkk pada gugatan pertama tahun 1977-1981 telah diputuskan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Para ahli waris Salim Albakar selaku Penggugat melawan Siti Hamang, dkk selaku Tergugat, dalam Putusan Kasasi MA No. 2031 K/Sip/1980 dinyatakan, terbukti secara sah dan pasti tidak memiliki lokasi tanah di Tanjung, walau hanya “sejengkal” saja. Tapi ternyata ada juga putusan lain yang memenangkan serta menyatakan ahli waris Salim Albakar yang diwakili oleh Ny. Berkah Albakar terbukti secara sah dan pasti memiliki lahan di Tanjung seluas ± 6 Ha. Kok bisa?
Nah itu dia. Disinilah kita melihat, dalam kasus ini “cermin hukum” di pengadilan telah retak, pecah berantakan. Bahkan menurut kaca mata Lucius, dalam konteks ini “langit keadilan” diwilah hukum PN Luwuk tidak hanya runtuh dan menimpa para pencari keadilan dan para pejabat hukum, namun juga menimpa relung-relung harapan dan kepercayaan masyarakat. Masih kah ada secercah harapan bagi para korban penggusuran di Tanjung untuk menunut hak dan keadilan? (masih tanda tanya). Begitu pun para ahli waris Salim Albakar, setelah mereka berjuang selama ± 40 tahun, serta berkorban harta dan moril dalam memperjuangkan haknya. Mereka akhirnya tidak juga menemukan yang namanya “kepastian hukum”, “Keadilan hukum” dan “kemanfaatan hukum”. Dalam teori ilmu hukum, tiga serangkai itu disebut sebagai asas-asas hukum pundamental.
Discussion about this post