Nah dari kisah Raja Lucius dan fakta eksekusi lahan Tanjung diatas, sekali lagi saya ingin menarik benang merah dan menghubungkannya dengan pelaksanaan Pilkada serentak di Kabupaten Banggai yang tahapannya sedang berjalan saat ini. Tapi tulisan ini jangan juga dibaca sebagai upaya intervensi terhadap pihak penyelenggara Pilkada. Sekedar mengingatkan, karena KPU adalah institusi publik yang dibiayai dengan uang yang berasal dari keringat rakyat.
Maksud saya begini. Para Komisioner KPU itu sesuai ketentuan, mereka dituntut menjalankan kewenangannya sesuai SOP: berintegritas dan kredibel. Apabila dua syarat ini dilanggar, maka runtuhlah “langit Pilkada” Banggai. Sebab, manakala secara moral dan etik komisionernya sudah kehilangan basis kepercayaan publik, maka apa pun produk yang dihasilakan oleh KPU akan sulit diterima oleh masyarakat. Ujung-ujungnya muncul tudingan KPU curang, dlsb. Oleh karena itu saran saya, dalam menyikapi salah satu bakal Paslon petahana (Winstar) yang sudah dibuktikan oleh Bawaslu melanggar ketentuan UU Pilkada, yaitu melanggar larangan penggantian pejabat dimasa terlarang tanpa persetujuan tertulis dari Menteri.
Maka KPU bersikaplah profesional dan berhati-hati dalam merumuskan sanksi bagi petahana, sebagaimana dimaksud ketentuan pasal 71 ayat (5) UU No. 10 tahun 2016, juncto pasal 89 huruf a PKPU No. 1 tahun 2020 tentang Pilkada. Secara teknis prosedural, saya melihat ada semacam “celah” yang diberikan oleh KPU kepada pasangan Winstar. Celah itu terbaca oleh publik ketika KPU memberikan status BMS (Belum Memenuhi Syarat) terhadap persyaratan pencalonan atau syarat calon Winstar. Saya memaknai pemberian status BMS itu mengkonfirmasi hasil verifikasi dan klarifikasi KPU selama tujuh hari (6-12 Sept. 2020). Bahwa pasangan Winstar masih diberi kesempatan dan berpeluang memperbaiki segala persyaratannya untuk kemudian dapat dinyatakan lengkap dan memenuhi syarat (MS) menjadi peserta Pilkada. Pertanyaannya, pada saat mana peluang Winstar dapat dinyatakan bersyarat menjadi peserta Pilkada? Pastinya bukan pada rapat pleno KPU tanggal 23 September 2020 saat penetapan pasangan calon. Tapi bisa jadi peluang itu didapatkan Winstar pada momentum gugatan di pengadilan. Kok bisa?
Ya bisa saja. Sebab peluang Winstar memenangkan gugatan di pengadilan sangat bergantung pada bagaimana KPU merumuskan langkah-langkah “teknis” untuk menggugurkan Winstar sebagai peserta Pilkada. Olehnya itu KPU selaku eksekutor pasal 71 ayat (5) jo pasal 89 huruf a itu harus tepat dan cermat merumuskan dalilnya sebagai produk pejabat TUN. Apabila KPU keliru meletakkan dalilnya dalam pengambilan keputusan yang mendiskualifikasi Winstar sebagai calon, maka kelemahan itu akan dimanfaatkan oleh tim hukum Winstar sebagai “celah hukum” guna mematahkan dalil KPU. Dan apabila pasangan Winstar memenangkan gugatan di pengadilan kelak, maka asumsi saya bahwa KPU telah “bermain cantik” dalam meloloskan Winstar, mendapat konfirmasi pembenarannya. Tapi semoga saja asumsi saya ini keliru. Begitu kan KPU..? (masih tanda tanya).*
Penulis adalah advokat / Ketua DPC Perkumpulan Pengacara Dan Konsutan Hukum Indonesia (PPKHI) Kabupaten Banggai
Discussion about this post