Dengan skanario itu, para oligarkis senantiasa berpihak pada partai besar yang memang berpotensi mampu memenangkan kontestasi. Sementara, partai yang didekati dan dijadikan mitra (komprador) pun mengukuhkan pendirian: tak ada makan siang gratis. Refleksinya, partai-partai besar siap berkolaborasi dengan kalangan oligarkis-globalis, tapi haruslah kompensasional. Inilah yang membuat pemimpin partai menunjukkan taringnya: siapapun kadernya yang tidak sejalan atau tidak tunduk terhadap garis partai dipersilakan out, atau cari partai lain.
Sikap arogansi pemimpin partai seperti itulah – sebagai hal keenam – membuat kader-kader terbaik partai terkubur jika partai tidak merekomendasikannya sebagai calon presiden. Sang kader hanya mampu sendiko dawuh. Manut. Hal ini membuat partai bukan hanya jumawa, tapi mendorong partai berperilaku semakin diktator. Sebagai partai politik yang sesungguhnya menjadi aktor pembumian nilai-nilai demokrasi harusnya ajarkan prinsip demokrasi, dalam bentuk menghargai hak-hak para kader dan masyarakat lainnya, tapi justru sebaliknya: tidak mendidik dan melecehkan personalitas sang kader.
Yang perlu kita catat lebih lanjut, perilaku diktatorisme dan arogansi sang pemimpin partai menumbuhkan budaya menjilat: yang penting ketua umum partai senang, meski sejatinya semu. Perilaku menjilat itu – mau tak mau – terpaksa harus dilakukan. Demi, kepentingan politik pribadinya aman. Sungguh tidak sehat dalam konsep membangun budaya politik yang mencerahkan. Karena, sikap penjilatan itu tidak akan mendorong kadernya responsif terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka akan lebih melihat dan menunggu ketika harus menjalankan tugas partai terkait kepentingan rakyat. Semua kader ada dalam kendali sang pemimpin utama partai.
Semua catatan tersebut – di mata Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – bukan hanya merusak masa depan negara dan bangsa ini, tapi benar-benar membentur konstitusi dan prinsip demokrasi. Karena itu, sudah saatnya ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan negeri kita. Pasal 222 terkait PT pada UU No. 7 Tahun 2017 itu tak sepantasnya dipertahankan. Dalih untuk menyederhanakan jumlah kontestan pemilu untuk memperkuat sistem presidential tak sejalan dengan spirit demokrasi yang harusnya diperjuangkan kian berkualitas.
Bagaimana pun, suara rakyat harus diakomodasi, meski beda pilihan partai dan sosok kandidat presiden. Dan yang jauh lebih memprihatinkan adalah ketentuan PT benar-benar mengubur kandidat terbaik bangsa dan negara, yang saat ini justru kita sangat butuhkan. Haruskah kita bahu-membahu dalam menciptakan masa depan negara yang makin suram, bahkan hancur? Perlu dipertanyakan akal sehat kita jika merapatkan diri dan berjuang ekstra keras untuk mempertahankan PT itu.
Sebuah renungan politik, apakah kita rela gadaikan atau bahkan lepaskan negeri ini ke pihak asing atau persekongkolan asing-asong? Jika jelas-jelas arahnya ke sana, maka seluruh elemen bangsa ini, terutama dari komponen TNI tak boleh diam. Sumpah Sapta Marga TNI harus ditunjukkan: NKRI harga mati. Tak boleh sejengkal pun dari wilayah negeri ini jatuh ke pihak lain. Sebagai anak bangsa, tentu barisan PANDAI akan selalu berada bersama aparat keamanan yang berjibaku untuk negeri ini. Tak ada kompromi. Inilah saat tepat untuk uji nasionalisme sejati.
Sekali lagi, sebagai kekuatan sipil, PANDAI layak bersuara lantang untuk bangkitkan kesadaran patriotis-nasionalistik, meski melalui lembaga hukum (MK) dan opini publik yang memang harus dihembuskan secara produktif. Bukan provokasi. Tapi, kita semua harus manyadari bersama tentang tingkat bahaya mempertahankan PT 20% itu bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan. Sementara, seluruh elemen masyarakat pun harus cerdas: jauhkan diri dari kandidat presiden yang – secara rekam jejak – berandil besar dalam upaya sistimatis melestarikan PT 20% itu. *
Jakarta, 19 Juli 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post