Oleh: Muhadam Labolo
MENIKMATI debat pasangan calon kepala daerah sebelum pemungutan suara 27 November 2024 menyadarkan kita tentang sejauhmana kapasitas calon kepala daerah menghadapi masalah diwilayahnya masing-masing. Setiap daerah tentu berbeda karakteristiknya hingga butuh pemimpin yang adaptif dengan masalahnya.
Pasangan calon boleh jadi sukses di satu daerah, namun belum tentu berhasil di tempat lain. Banyak kasus demikian, sebutlah Nurdin Abdullah, Ahok, Risma dll. Mereka sukses di kampung halamannya, tapi mengalami semacam disorientasi di ruang lain. Kepemimpinan butuh kapasitas sesuai masalah yang dihadapi.
Kapasitas kepemimpinan kepala daerah bergantung pada sejumlah variabel. Kecerdasan misalnya, dapat dideteksi dari intelektualitas, spiritual, sosial, dan mental. Kecerdasan intelektual punya tempatnya. Ia dibutuhkan untuk memecahkan ragam masalah di daerah. Bukan hanya itu, Ia dikehendaki tak hanya mampu menggagas, juga menemukan alternatif atas kesulitan daerahnya.
Kapasitas spiritual (spiritual intellegence) setidaknya berguna memandu etika sosial yang kini terinfeksi berbagai penyakit sosial. Tak perlu memulai dan berharap dari bawah, kepala daerah cukup menjadi patron hidup sederhana dan jauh dari korupsi. Hidup zuhud sudah cukup menjadi simbol spiritual dibanding memperbanyak ritual lewat ceremony tapi miskin praktek.
Barangkali sudah menjadi kebiasaan para pemimpin di daerah mengundang da’i kondang untuk menghibur dahaga spiritual masyarakat, tapi kehidupan mereka justru sebaliknya, jauh panggang dari api. Sang da’i diminta menasehati masyarakat agar mensyukuri hidup miskin, tak banyak menuntut, serta patuh pada pemimpin.
Nasehat itu mulia dan baik saja. Tapi pemimpin dan keluarganya hidup sebaliknya. Sumber daya dikuasai anak, saudara, menantu, ponakan dan istri. Dengan semua kenyataan itu, kekayaan mereka menumpuk, menghindari tuntutan atas janjinya, serta murka bila di kritik. Merasa dizolimi, bahkan semua yang berada di luar keluarga adalah musuh. Prinsip negara kekeluargaan didistorsi.
Spiritualitas ideal muncul dalam realitas jiwa. Jiwa biasanya dibimbing iman. Bila pemimpin ogah memungut sampah, artinya separuh imannya diragukan. Bukankah kebersihan sebagian dari iman. Pemimpin adalah simbol, sebagaimana fleksibilitas Sultan Hamengkubuwono sering memungut sampah. Mereka panutan untuk membangun kesadaran masyarakat. Kesadaran mengurangi ongkos merawat kebersihan seperti Kota Tokyo.
Kecerdasan sosial (Social Intellegence) diperlukan tak hanya menyelami perasaan kolektif, juga modal sosial yang esensial. Mereka yang terhubung secara vertikal dan horisontal punya potensi kecerdasan sosial yang luas. Kepala daerah harus mampu mengelola kemajemukan menjadi modal kohesi sosial bagi efektivitas pemerintahan. Tanpa dukungan, paslon tak bisa berbuat banyak.
Kecerdasan mental (emotional intellegence) salah satu modal penting sebagai paslon. Ini bukan saja sehat secara fisik, juga psikis. Soal sehat fisik mungkin relatif, buktinya hasil rekam medik paslon tak pernah dipublikasikan. Tapi sehat psikis dibutuhkan agar stabilitas emosi bisa dipertahankan. Bila paslon lekas emosi, mudah marah, sensitif terhadap kritik, tentu sulit hidup dikubangan demokrasi yang padat koreksi.
Dengan semua variabel kapasitas kepemimpinan kepala daerah itu, kita berharap para paslon mampu memainkan peran strategis dalam membawa daerah kian maju. Sebab sekaya apapun daerah dengan semua potensi yang melimpah, tanpa kepemimpinan yang capable, daerah tetap saja hanya titik kecil dalam peta yang tak berdaya menyejahterakan rakyatnya, kecuali ladang bagi kemakmuran keluarga dan kroninya. *
**) Ikuti berita-berita terbaru Luwuk Times di Google News. Klik link dan jangan lupa follow
Discussion about this post