Oleh: Supriadi Lawani
Ini kisah dari sebuah desa di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Pagi itu, aroma es campur menyeruak di antara suara motor dan langkah anak-anak kecil. Di depan rumah kayu yang separuh lapuk, Sundari sibuk menyiapkan dagangan.
Ia mencuci gelas dan menyiapkan sirup merah yang mulai mengental karena panas. Senyum kecil masih ia sematkan, seolah hari ini tak ada beban, seolah hidup baik-baik saja.
Namun di balik senyum itu, ada air mata yang tak sempat tumpah. Ia adalah janda dua anak — yang satu kuliah di Makassar, yang satu lagi duduk di bangku SMA.
Sejak suaminya pergi meninggalkan rumah bertahun lalu, hidup Sundari hanya bersandar pada tangan dan keringatnya sendiri.
Ia menjual es campur di depan rumah tantenya yang juga janda, menumpu harapan agar anak-anaknya bisa tetap sekolah, agar dapur tetap berasap, agar ibunya yang renta tak ikut menanggung lapar.
Sampai suatu hari di Maret 2024, hidupnya jungkir balik. Ayahnya sakit, butuh biaya rumah sakit.
Sementara anaknya di Makassar menelpon meminta kiriman uang kuliah.
Tabungan sudah habis, perhiasan sudah dijual, bahkan tanah warisan pun berpindah tangan.
Saat itulah dia pergi kepada seseorang, ia datang untuk meminta “pertolongan” — sebuah pinjaman cepat tanpa jaminan.
“Bunga cuma sepuluh persen sebulan, Bu. Ringan saja,” kata lelaki itu dengan senyum meyakinkan.
Sepuluh persen — terdengar kecil, padahal itulah awal jerat yang tak lagi bisa ia lepaskan.
Sundari meminjam sepuluh juta rupiah, dan sejak itu, tiap bulan ia harus membayar satu juta rupiah hanya untuk bunga.
Satu juta, dari hasil jualan es campur yang kadang cuma laku dua ratus ribu sehari. Ketika setahun berlalu, ia sadar sesuatu yang mengerikan: utang pokoknya tak berkurang sepeser pun.
Sudah sepuluh juta lebih uangnya mengalir ke lintah darat itu, tapi yang harus dibayar tetap sepuluh juta.
Belum lagi denda keterlambatan lima juta yang tiba-tiba ditagih karena keterlambatan setor — uang yang mestinya untuk biaya rumah sakit ayahnya dan sekolah anak. Totalnya menjadi dua puluh lima juta.
Setiap kali ia mencoba menjelaskan, suara kasar dari seberang telepon membungkamnya.
“Kalau tidak bayar, saya lapor polisi. Atau saya datangi rumahmu.”
Dan benar. Nama Sundari kini tak hanya tercatat di buku utang, tapi juga di kantor polisi dan kantor camat.
Ia sering dipanggil untuk memberi penjelasan, sementara rentenir itu bersandar pada laporan-laporan formal yang seolah legal, seolah dialah yang dizalimi, seolah dialah korban, sungguh drama yang mengerikan.
Hidup Sundari pun kian terpojok. Ia bekerja lebih keras, menambah jam jualan sampai malam.
Tapi tubuhnya mulai lelah, matanya sering merah, dan wajahnya tampak jauh lebih tua dari usianya.
Kadang, di antara serutan es dan gulah yang mengental ia termenung.
“Kalau suamiku masih di sini, mungkin tidak begini,” katanya lirih.
Tapi suaminya telah lama pergi — meninggalkan rumah, meninggalkan tanggung jawab, meninggalkan luka yang masih berdarah hingga kini.
Kisah Sundari bukanlah satu-satunya. Ia adalah potret ribuan perempuan di kampung – kampung kabupaten Banggai ini, yang berjuang sendirian di tengah kemiskinan struktural dan absennya negara.
Rentenir tumbuh subur karena sistem perbankan menutup pintu bagi orang kecil. Negara membiarkan bunga mencekik lebih dalam dari tali.
Negeri ini butuh lebih dari sekadar slogan “ekonomi kerakyatan.”
Ia butuh keberpihakan nyata. Karena di balik statistik dan grafik pertumbuhan, ada wajah-wajah seperti Sundari — yang setiap hari bertarung antara harapan dan keputusasaan.
Dan selama rentenir masih merajalela, selama negara berpaling, maka kisah seperti ini akan terus lahir, di setiap desa, di setiap ibu yang berjuang sendirian. *
Penulis adalah petani pisang yang kadang jadi advokat


