Oleh: Muhadam Labolo
KETIKA Hitler mengangkat dirinya sebagai penyelamat Jerman pasca perdamaian Versailles (1919), apa yang diucapkannya ditirukan orang. Awalnya di latah oleh sekelompok kecil pengikutnya lalu meluas menjadi doktrin bagi sebagian besar bangsa itu. Pada saat itu Hitler benar-benar penyelamat, barangsiapa tak mempercayainya atau mengatakan sebaliknya adalah pengkhianat.
Dalam konteks ini kekuasaan menurut Francis Bacon tak hanya memberi arti, juga pengambil arti. Kata Marleau-Ponty, satu kata yang diucapkan seseorang dapat menjadi dunia pembicaraan umum (univers de discours). Sebuah kalimat yang di sahut masyarakat dapat berubah menjadi kekuasaan. Apatah lagi bila kekuasaan senyatanya mengendalikan arti segala sesuatu di ruang publik, termasuk tafsir tunggal atas manusia, tempat dan isu yang menjadi pilihan wacana dalam dialektika demokrasi (mind changing concept).
Guna menjaga mutu demokrasi agar tak mudah berubah menjadi oligarchi dan tiran, kita butuhk kritik. Kritik ideal mesti dibangun di atas pondasi pengetahuan. Sadar atau tidak ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah kritik sekaligus kekuasaan yang dapat dipakai sebagai lentera. Dengan mendiskusikan pelbagai hal menurut standar ilmiah termasuk struktur kehidupan tersembunyi, ilmu berkontribusi bahkan menguasainya. Itulah mengapa kritik dan ilmu tak dapat dipisahkan. Tanpa kritik ilmu turut berhenti.
Semua kemajuan pada dasarnya lahir dari kritik. Logika lahir sebagai buah atas kritik pemikiran manusia. Etika tumbuh sebagai kritik atas kesusilaan. Sementara teknologi berkembang akibat kritik terhadap praksis manusia. Berkat kritik kita dapat memperbaiki berbagai hal, termasuk kesehatan kita agar semakin baik. Pendek kata, segala kebudayaan kita adalah hasil dari nalar yang kritis. Kemajuan di kota dan desa mesti diterima sebagai satu kenyataan bahwa manusia mau menyampaikan kritik ilmiah dari aspek sosiologi pembangunan.
Sebab itu untuk memahami sesuatu lebih dalam kita butuh kritik. Tapi untuk menyusun kritik kita memerlukan pengetahuan tentang realitas yang dihadapi serta norma sebagai standar rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan (Kwant, 1975). Realitas yang akan kita kritik sebaiknya hal yang kita pahami menurut akal sehat maupun empirik. Tanpa metode itu, kritik seperti melepas garam di tengah samudera. Sementara norma kita gunakan sebagai pedoman, baik yang bersifat universal seperti hukum alam, dogma agama, konstitusi dan hukum positif. Norma pun tak lepas dari kritik agar ia adaptif sejauh mungkin.
Discussion about this post