Oleh: Dr. drh. H. Chaidir
PUNCAK peringatan Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tahun pada tanggal 9 Februari, bertepatan dengan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Namun tahun ini, puncak peringatan tersebut terbelah dua. Seperti diberitakan, satu puncak diselenggarakan di Pekanbaru, Riau; puncak yang lain diselenggarakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Tersebab peristiwa dualisme ini menyangkut dunia pers, tentu menarik. Sebenarnya, bila dilihat dari sisi rasa memiliki, setiap pulau pun menyelenggarakan puncak Hari Pers Nasional, tak masalah, berarti PWI dicintai oleh masyarakat.
Tak usah terlalu dipersoalkan. PWI dengan insan persnya, bukan sembarang perkumpulan. Pers lebih dulu tahu tentang segala hal, apalagi menyangkut urusan internal pers itu sendiri.
Bahkan pers lebih dulu lahir daripada dunia, begitu kata pakar politik dan pers Jerman, Karl Klaus (1923).
“In the beginning was the press and then the world appeared”, kata Klauss. Tuan ini agaknya berlebihan, terlalu mengagungkan keberadaan pers. Namun sesungguhnya Klaus hanya ingin menegaskan tanpa pers dan media massa, dunia ini tak dikenal.
“Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers”, kata Presiden Ke-3 Amerika Serikat, Thomas Jefferson.
Sehingga pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah pilar kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Demikian perkasanya pers sampai seorang panglima hebat dalam sejarah dunia, Napoleon Bonaparte lebih takut menghadapi surat kabar daripada ujung bayonet.
“Pena wartawan lebih tajam daripada sebilah pedang, karena itu saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet”, ujar Napoleon Bonaparte (1790).
Mark Twin seorang novelis, penulis dan pengajar berkebangsaan Amerika Serikat, menulis, “There’re only two thing wich can throw light upon here on earth. Two things, once is the sun in heaven and the second one is the press on earth”.
Hanya ada dua yang bisa menerangi bumi, yakni satunya adalah matahari yang ada di surga, dan yang kedua adalah surat kabar yang ada di bumi. Bukan main metafora Mark Twin.
Media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam proses politik, bahkan menurut Lichtenberg (Cangara, 2016), media massa sudah menjadi aktor utama dalam bidang politik. Media pers mempunyai kemampuan untuk membuat seseorang cemerlang dalam karir politiknya.
Namun demikian ada fenomena seperti disebut Jovito Reyes Salonga, negarawan dan pengacara Filipina, serta pemimpin oposisi utama pada rezim Ferdinand Marcos, bahwa media dan politik itu bisa menjadi teman baik atau juga menjadi musuh yang buruk. “Media and politics can be the best of friends or the worst of enemies”.
Discussion about this post