BANGGAI dan panggung besar yang bernama Politik menjadi pertunjukan berulang.
Dari pilkada ke pementasan panjang, isinya sama: pilkada selesai, hasil diumumkan, gugatan dilayangkan.
Pemungutan suara diulang, pemenangnya tetap sama, narasi penolakan kembali muncul.
Seolah-olah kemenangan hanya akan sah jika yang terpilih adalah orang tertentu.
Pertanyaan penting itu muncul: adegan ini sesungguhnya untuk melawan siapa?
Ketika kekalahan dianggap sebagai kegagalan sistem, bukan sebagai kekurangan strategi.
Ketika ambisi pribadi lebih kuat dari keikhlasan menerima suara rakyat.
Kita tahu, setiap orang berhak menempuh jalur hukum.
Tapi ketika proses terus diulang hanya demi mengejar hasil yang sama, apa yang sebenarnya sedang dibela? Keadilan, atau ego?
Pilkada seolah menjadi alat untuk hasrat kekuasaan; yang dirusak bukan hanya prosesnya, tapi juga kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.
Dana pemilihan ulang tidak muncul dari ruang hampa.
Ia berasal dari anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, bahkan pengentasan kemiskinan.
Semua itu diubah—bukan oleh kebutuhan rakyat—melainkan oleh ambisi yang tak tahu kapan berhenti.
Waktu yang seharusnya digunakan untuk transisi pemerintahan malah dihabiskan dalam ketegangan dan ketidakpastian.
Aparatur daerah kehilangan arah. Masyarakat seolah tak punya harapan. Semua sibuk menunggu siapa yang akhirnya benar-benar “resmi” menang.
Lagi-lagi kita bertanya: untuk siapa sebenarnya adegan ini dipersembahkan?
Jika untuk rakyat, maka semestinya kemenangan dan kekalahan adalah bagian dari proses yang dihormati.
Jika untuk perubahan, maka energi mestinya diarahkan untuk membangun, bukan mengulang.
Apakah benar ini untuk melawan ketidakadilan? Ataukah hanya melawan kenyataan bahwa rakyat telah memilih?
Akhir dari sebuah pementasan adalah saat aktor tahu kapan harus berhenti.
Dan dalam demokrasi, itulah yang membedakan pemimpin sejati dari sekadar pemain. *
Penulis FP
Discussion about this post