Namun, di tahun 2018 perusahaan mempolisikan petani. Akibatnya, karena karena tidak mau berurusan dengan polisi dirinya terpaksa menandatangani SPK/SPHU.
Perlakuan perusahaan terhadap petani sawit ini terkesan menjebak untuk menandatangi SPK/SPHU.
“Petani sebagai pemilik lahan malah dipenjarakan, dituduh mencuri. Bisa dibebaskan dengan syarat mau menandatangi SPK dan SPHU,” ungkapnya sedih.
Besaran nilai bagi hasil itupun menurutnya tidak adil dan tidak dijelaskan perinciannya dari perusahaan. Sehingga petani tidak dapat mengetahui berapa jumlah buah tandan segar setiap kali panen dan menghitung berapa bagian mereka yang sebenarnya.
Menjadi kekhawatiran tambah dia, petani sawit juga baru mengetahui jika hutang mereka yang sudah lunas di perusahaan baru Rp 5 juta.
“Biasanya 25 tahun kelapa sawit berproduksi, masih ada 14 tahun. Kalau begini pembagiannya terus, apa hutang kita bisa lunas semua. Kalau nanti tidak lunas, bisa saja tanah kita yang diambil,” ucapnya.
Widya juga menjelaskan para petani plasma diikat kerjasama dengan perusahaan melalui Koperasi Sawit Maleo Sejahtera melalui SKP. Koperasi itu disinyalir sengaja dilibatkan PT. Sawindo Cemerlang, padahal berdasarkan penjelasan dari Dinas Koperasi, KSM dikategorikan koperasi sakit sejak tahun 2013. “Koperasinya kita tidak tau dimana kantornya,” ucapnya.
Petani berharap agar tuntutan mereka memiliki kembali tanah mereka dan mengelola sawit secara mandiri dapat diperjuangkan pemerintah melalui Pansus yang dibentuk DPRD Kabupaten Banggai. “Tidak ada lagi nego-nego atau perjanjian baru. Yang kami minta kembalikan hak kami,” pinta mereka. *
Baca juga: Petani Sawit Desak DPRD Banggai Bentuk Pansus Sawindo
(cen/cj-02)
Discussion about this post