3. Ia akan menyatakan sesuatu yang tidak didukung oleh fakta. Ia hanya membual dan bohong belaka.
4. ia pandai membuat sandiwara agar orang yang di puji merasa senang, padahal sesungguhnya, orang yang dia puji adalah orang yang fasik.
Islam mengajarkan, orang jahat jangan dipuji biar senang. Tetapi harus dikritik biar dapat meng introspeksi diri, tegas Imam Al-Ghazali.
Sedangkan bagi pihak yang dipuji terdapat dua keburukan yang bisa timbul akibat pujian;
1. Dia bisa sombong (kibr) dan merasa besar sendiri, merasa paling hebat, merasa paling kuat, merasa tidak ada saingan (‘ujub). Karena Kibir dan ujub merupakan dua penyakit hati yang mematikan, kalau kedua sifat ini melekat pada diri seorang seorang manusia. Apalagi melekat pada diri seorang pemimpin, maka dia menjadi arogan, sombong dan takabur..
2. Dia bisa lupa diri dan lengah. Karena sudah mabuk oleh pujian. Menurut Ghazali, orang yang merasa besar dan hebat karena pujian, ia akan terlena dan mabuk pujian. Akhirnya orang itu pun merasa ketagihan atau kecanduan menerima sanjungan.
Al-Ghazali menegaskan, pujian boleh dilakukan asalkan dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Bahkan terkadang pujian itu diperlukan.
Rasulullah SAW pernah memuji Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat beliau yang lain.
Namun, pujian beliau dilakukan dengan jujur dan penuh kearifan. Beliau juga sadar betul bahwa pujiannya tidak akan menjadikan para sahabatnya itu sombong.
Agar tidak “mabuk” karena pujian, seseorang perlu mengenali dirinya sendiri. Ia tentu lebih tahu dirinya sendiri ketimbang orang lain yang memuji.
Dengan begitu ia tidak akan lengah, karena sadar tidak semua pujian yang dialamatkan kepadanya sesuai dengan kenyataan.
Jika demikian, lantas apa yang selayaknya kita perbuat ketika mendapat pujian atau sanjungan?
Mungkin kiat Ali bin Abi Thalib bisa kita jadikan pelajaran. Saat banyak mendapat sanjungan, beliau berkata: ”Aku tidak sebagus yang kamu katakan.” Selanjutnya ia berdo,a, ”Ya Allah, ampunilah aku atas perkataan mereka, dan jangan Engkau siksa aku gara-gara mereka. Berikanlah kepadaku kebaikan dari apa yang mereka sangkakan kepadaku.”
Atau kita bisa juga meneladani Abu Bakar ash-Shiddiq yang jika mendapat pujian ia senantiasa berdoa:
“Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
Artinya: Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (HR. Baihaqi). *
Discussion about this post