Oleh: Ronaldi Timpola, SH
SAAT ini publik di hebohkan dengan kebijakan kontroversi pemerintah terhadap terbitnya UU/PERPPU Cipta Kerja Pada hari Rabu, 21 Maret 2023.
DPR secara sah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi Undang- Undang (UU) Ciptaker dalam Rapat Sidang Paripurna DPR RI.
Akar masalah dan menjadi asumsi liar dimasyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja adalah pemerintah menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi kala mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Selain membangkang, pengesahan Perppu yang tiba-tiba dan dilandasi kegentingan yang mengada-ada meneguhkan tendensi otoritarianisme pemerintah terhadap kedaulatan rakyat dan peran serta masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Logika tindakan Presiden pun semakin berantakan, sebab, pilihan Perppu justru menutup ruang partisipasi. Sebab, Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 menyebutkan bahwa Perppu merupakan hak prerogatif Presiden di saat berada dalam kegentingan mendesak.
Jadi, aturan itu sama sekali menutup ruang partisipasi. Dari sana saja atau mungkin dengan logika paling sederhana, masyarakat dengan mudah memahami betapa rusaknya mekanisme tersebut.
Ditambah lagi, tindakan Presiden juga seolah mengabaikan putusan MK. Bagaimana tidak, melalui pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, MK mengatakan bahwa regulasi itu inkonstitusional (Conditionally Constitutional) bersyarat, atau dianggap bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Namun, bukannya diperbaiki dengan membuka ruang partisipasi, Presiden malah mengeluarkan Perppu.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah lebih memilih menerbitkan Perppu Ciptaker dibandingkan memperbaiki UU Ciptaker yang berstatus inkonstitusional bersyarat?
Apa aspek atau tolak ukur kegentingan yang memaksa sebagai dasar atau latar belakang keluarnya Perppu ini?
Perppu merupakan peraturan perundang-undangan setingkat UU yang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan Presiden untuk membuat Perppu sejatinya sudah diatur dalam Pasal 22 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.” Satu hal penting yang membedakan antara Perppu dan UU adalah suatu kondisi “Kegentingan yang memaksa” dalam negara. UUD 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk mengeluarkan suatu regulasi dalam bentuk Perppu demi mengatasi kondisi negara yang dalam “Kegentingan yang memaksa”.
Hak prerogatif presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan suatu tindakan demi kepentingan bersama. Pemberian hak prerogatif bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan dibuka sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat. Hak prerogratif presiden tersebut diatur dalam konstitusi RI.
Dalam hal mendefinisikan kegentingan yang memaksa dalam suatu negara merupakan subjektivitas dari Presiden. Suatu kondisi kegentingan yang memaksa tidaklah sama dengan keadaan bahaya pada suatu negara. Artinya tidak hanya berpusat tentang keamanan negara saja, tapi juga dalam aspek ekonomi, sosial, ketertiban umum dan lain-lain.
Untuk menghindari adanya suatu kesewenang-wenangan dari kepala negara dalam mengeluarkan Perppu, definisi kegentingan yang memaksa ini dipersempit dengan adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang pada intinya menyatakan bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 syarat yaitu :
Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan UU, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau undang undang tersebut sudah ada tapi tidak memadai dan kekosongan hukum yang terjadi tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang baru karena membutuhkan waktu yang lama sementara kendala mendesak tersebut membutuhkan kepastian hukum dengan undang-undang.
Tiga syarat ini juga relevan dengan pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH.,MH, berpendapat setidaknya ada 3 hal utama yang memaksa presiden menerbitkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan.
Pertama, Presiden saat menerbitkan Perppu tanpa atau tidak melibatkan dan tidak pula memerlukan persetujuan DPR. Ia menilai alasannya cukup jelas, yaitu agar presiden dalam keadaan mendesak dapat bertindak cepat dan tepat untuk segera memulihkan keadaan mendesak menjadi normal kembali.
Discussion about this post