Oleh: Muhadam Labolo
KEINGINAN mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Presiden Prabowo tempo hari kembali sunyi dilahap isu sensitif lain seperti pemagaran laut puluhan kilometer, hingga keraguan melanjutkan program makan siang gratis pasca percobaan di 190 titik pada 26 provinsi.
Padahal dua isu itu jika dipikir-pikir, tak lain dampak dari konsesi atas pilihan mekanisme yang menelan ongkos berlebihan. Pilpres secara tak langsung membuahkan konsesi pagar laut. Sedangkan Pilkada secara tak langsung menekan bahan baku Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Disini urgensi perubahan mekanisme demokrasi.
Perubahan mekanisme demokrasi tentu saja memberi kita berbagai alternatif. Dan untuk beradaptasi dengan pilihan variatif itu kita membutuhkan redesain status pemerintah daerah (local government) agar selaras secara konseptual, yuridis dan realitas socio-cultural.
Secara teoritik, daerah terdiri dari daerah administratif dan daerah otonom (Utrecht, 2019, Gautama, 2008 & Djokosutono, 2017). Daerah administratif merupakan area perpanjangan aktivitas pemerintah pusat. Konsekuensinya kepalanya ditunjuk tanpa legislative member. Itulah mengapa tidak ada proses pemilihan di daerah administratif.
Daerah otonom sendiri merupakan wilayah yang diberi hak mengatur dan mengurus dirinya sendiri dibawah kontrol pusat. Konsekuesinya kepala daerah dan legislative member nya dipilih oleh komunitas otonom (Husein & Hanif, 2021). Itulah mengapa ada proses pemilihan di daerah.
Realitas di Indonesia memiliki daerah administrasi dan daerah otonom. Daerah administrasi ada yang terintegrasi di provinsi, dan ada yang berdiri sendiri seperti IKN. Ada pula daerah administrasi yang melekat di kota seperti Badan Otorita Batam dan berada di bawah provinsi seperti kota dan kabupaten administratif di Jakarta.
Daerah otonom sendiri punya dua jenis, yaitu daerah otonom berstatus istimewa (Jogjakarta), dan daerah otonom berstatus khusus (Papua, Aceh dan Jakarta). Secara vertikal terdiri dari daerah otonom besar (provinsi), daerah otonom sedang (kabupaten/kota) dan daerah otonom kecil (desa adat). Kecuali daerah sedang, belum diakui.
Realitas itu tentu saja didasarkan pada konstitusi pasal 18, 18A, dan 18B UUD ’45. Basis legal tersebut telah melahirkan status daerah-daerah di Indonesia sepanjang era orde lama hingga reformasi. Sayangnya, perubahan UU Pemda sejak 1999, 2004 hingga 2014 tak kompatibel dengan mekanisme pilkadanya.
Faktanya, kendatipun status daerah-daerah di Indonesia itu berbeda-beda, mekanisme pilkadanya dipukul rata. Semuanya pilkada langsung. Padahal status daerah administrasi dan daerah otonom dengan sendirinya memiliki konsekuensi logis terhadap mekanisme yang akan digunakan.
Pertama, untuk menggunakan mekanisme pilkada langsung sebaiknya ditetapkan jumlah daerah berstatus otonom. Termasuk apakah cukup diletakkan di level kabupaten/kota, atau termasuk provinsi. Bila di kab/kota, maka mekanisme pilkada langsung cukup dilakukan di semua level kab/kota dengan prasyarat tertentu.
Kedua, untuk menggunakan mekanisme penunjukan pejabat pusat di daerah, sebaiknya ditetapkan jumlah daerah berstatus administratif. Bila semua provinsi ditetapkan sebagai daerah administratif selain IKN dan Badan Otorita, maka mekanisme penunjukan dapat digunakan di semua entitas tersebut.
Ketiga, untuk menggunakan mekanisme pilkada tak langsung (DPRD) sebaiknya ditentukan jumlah daerah berstatus otonom khusus. Memiliki kompleksitas masalah seperti tingkat pendidikan, pendapatan, serta beban penyelenggaraan pemerintahan sehingga membutuhkan efisiensi dan efektivitas.
Keempat, untuk menggunakan mekanisme penetapan (ditasbihkan) sebaiknya ditetapkan jumlah daerah berstatus istimewa (zelfbestuurslandschappen). Penetapan ini tak hanya daerah besar seperti Jogjakarta, dapat diperluas pada daerah sedang seperti Surakarta, Cirebon, Ternate, Tidore, Bone, Gowa, Raja Ampat dll.
Dengan kejelasan status daerah-daerah tersebut, pilihan mekanisme dengan sendirinya dapat diterapkan sesuai status daerah. Pola ini selain memiliki dasar konstitusional juga adaptif menimbang secara sosiologis dan historis telah dipraktekkan jauh sebelum dan sesudah kemerdekaan. Tidak pukul rata, apalagi melahap mentah mekanisme demokrasi ala barat. *
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan saluran WhatsApp Channel
Discussion about this post