TOILI BARAT, Luwuk Times.ID— Sejumlah pemilik lahan di wilayah perbatasan Kabupaten Banggai (Toili Barat) dan Kabupaten Morowali Utara (Mamosalato) mengeluh terkait pemanfaatan lahan oleh perusahaan nikel di wilayah itu. Pasalnya, perusahaan diduga belum melakukan proses pembebasan lahan, tapi sudah menggunakan areal tersebut.
Dikutip dari Radar Sultim News, pemilik lahan mengaku eksplorasi lahan mereka yang berdekatan dengan kawasan ber – IUP (Ijin Usaha Pertambangan-red) perusahaan mulai dilakukan beberapa bulan terakhir.
“Awalnya perusahaan ini diketahui hanya mengambil sampel tanah di lahan kami. Untuk diperiksa kadar nikelnya. Tapi kok sekarang sudah mulai digarap. Sudah diambil tanahnya. Bukan lagi untuk sampel,” sebut sumber, Rabu (05/05/2021).
Terkait dengan kebijakan perusahaan itu, warga berencana membawa persoalan ini ke ranah hukum.
“Rencananya kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum,” ucapnya.
Ada yang aneh dari perusahaan itu, tanpa menyebut nama perusahaan nikelnya, kata sumber, lahan warga yang dimanfaatkan perusahaan berada di luar wilayah IUP perusahaan.
Sehingga terkesan perusahaan melakukan penambangan di luar IUP. Jelas saja sebut dia, hal ini tidak dibenarkan dalam aturan. Apalagi belum ada proses pembebasan lahan dari warga.
Kapolsubsektor Toili Barat tidak berhasil dikonfirmasi media. Nomor kontaknya tidak terhubung.
Aktifis lingkungan GAM Banggai, melalui sekretarisnya Muh Akli Suong SH menanggapi serius persoalan itu.
Akli memaparkan bahwa sesuai aturan terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, dalam pasal 135 jelas diatur mengenai penggunaan tanah untuk usaha pertambangan.
Dalam pasal 86F, pemegang IUP eksplorasi atau IUPK eksplorasi, atau pemilik SIPB (Surat Ijin Pertambangan Batuan), hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah menyelesaikan hak atas tanah kepada pemegang hak.
Dugaan pelanggaran aturan perundang-undangan ini, dalam pasal 149 juga telah diterangkan bahwa penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat melakukan penyidikan.
Selain itu, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai ddenga ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk sanksi yang dapat diberikan kepada perusahaan ‘bandel’ itu, yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Untuk sanksi administrasi, Menteri berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud (pasal 151 ayat 1).
Dan bentuk sanksi administrasi tersebut berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan /atau, pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB atau IUP untuk Penjualan (pasal 151 ayat 2).
Sementara sanksi pidana atas pelanggaran peraturan ini, diatur dalam beberapa pasal. Salah satunya pasal 158 yang menyebutkan “Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
(*/yan)
Discussion about this post