Dan sekembalinya itu beliau bergabung dengan tokoh pejuang kemerdekaan yang ada di Pagimana.
Mereka kemudian menggelar rapat akbar Ovenluh pada tanggal 6 Maret 1933, bertempat lapangan pemuda Pagimana. Peserta rapat akbar Ovenluh itu termasuk tiga tokoh politik peserta kongres Sumpah Pemuda 1 di Solo tanggal 28 Oktober 1928.
“Mereka adalah Ustad Basir Maksum (Muhammadiyah) dari Jogya, ustad H. Abdullah Siraz (NU) dari Jawa Timur dan Karel Panamon (PSII) dari Manado Sulawesi Utara,” katanya.
Tapi kemudian semua tokoh pejuang Pagimana dan aktivis lainnya ditangkap Belanda oleh Kapten Reymer dan pasukanya. Termasuk 3 srikandi, Siti Taha, Koyang Masulili dan Diyo Ukiki. Ketiganya di tahan di pesangrahan Belanda, yang saat ini merupakan SDN 1 Pagimana.
Terkait dengan momentum 12 Februari 1942, para tokoh pemuda Pagimana yang sebelumnya telah menjalani proses kader tahun 1933, kembali beraksi.
Sebanyak 12 tokoh muda Pagimana dari Badan Gerakan Merah Putih datang ke Luwuk untuk menangkap Wplerabe dan pasukannya. Sekaligus mereka mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Makna peringatan 12 Februari 1942 adalah melestarikan budaya sejarah itu sebagai bagian sejarah lokal kita dalam melawan kolonial Belanda,” kata Faisal.
“Dan sejarah adalah perjalan peristiwa masa lalu kita yang tidak dengan mudah kita ganti-ganti nama pelakunya. Karena itu perbuatan yang sangat tidak terpuji,” ujar Faisal Badjarat yang juga Direktur LSM Lapelhi Banggai ini. *
Sofyan Labolo
Discussion about this post