Saya masih ingat betul ketika Polres Banggai menggelar konferensi pers di akhir tahun. Sebagian langsung memposting berita-berita hasil konferensi pers, tapi sebagian lainnya menunggu rilis yang diterbitkan Humas Polres Banggai. Padahal, pewarta yang menerbitkan rilis berita di agenda konferensi pers itu juga mengikuti sesi konferensi. Aneh? Tidak, tapi tak elok.
Dari fakta demikian, analisa sederhana kian meyakinkan bahwa ancaman kreativitas pewarta benar-benar nyata. Bukan hanya sebatas isapan jempol belaka.
Dalam berbagai kasus pun demikian. Pewarta seolah tak tertarik lagi mengikuti liputan langsung. Praktis hanya menunggu rilis.
Namun, apakah semua peristiwa menunggu rilis? Jawabannya tidak. Jika terus-terusan seperti ini dan tanpa kesadaran personal pewarta, maka tentu akan sulit menghasilkan produk berita hasil tulisan sendiri.
Apatah lagi harapan untuk mengungkap masalah yang mendera masyarakat buntut kesulitan mengkreasikannya dalam narasi berita. Kesulitan menggambarkan fakta. Kita terjebak dengan kemanjaan.
Bukan hendak mengumbar, tapi faktanya adalah sebagian media online di daerah ini hanya menerbitkan berita-berita rilis. Minim karya. Bagaimana bisa menggantungkan harapan aspirasi, keluh kesah di masyarakat untuk dinarasikan dalam berita? Fungsi pilar demokrasi kian tergerus.
Tak hanya diperhadapkan dengan hal ini. Kita belum membahas soal pilihan kata per kata. Uraikan kata-kata menjadi kalimat. Hingga pemilihan kata pun kita sering salah tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan atau EYD.
Padahal, bukanlah hal sulit. Sebab, cukup membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berbasis online.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau lembaga menaungi profesi pewarta menitikberatkan pada kualitas. Dewan Pers pun menyadari bahwa keran terbuka menjamurnya penerbitan media, baik cetak maupun online, harus dibarengi dengan kualifikasi pelaku media.
Itulah sebabnya, lahirlah uji kompetensi. Dari sini, kita diuji apakah memenuhi kualifikasi sebagai pewarta atau tidak.
Namun, uji kompetensi bukanlah hal mutlak. Perlu disadari bahwa menjadi pewarta adalah pilihan. Pilihan pewarta mutlak berkualitas. Wartawan sebagai pekerjaan profesi, maka wajib dituntut profesional.
Dalam berbagai kesempatan, saya sering menyampaikan bahwa ‘Jangan pernah berhenti belajar. Sebab, tak ada wartawan senior. Yang ada hanyalah wartawan tua’. Ungkapan ini bermakna bahwa kita tidak boleh merasa sudah paham atau tahu segalanya. Dengan belajar dan terus belajar, pengetahuan kian terbuka. Tabe’. *
Discussion about this post