Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
TUJUAN Pemilu bukan hanya menghasilkan pemimpin terbaik, tetapi juga bertujuan untuk membendung kejahatan kepemimpinan baru berkuasa (Magnis Suseno, 2023).
Demikian pula propaganda dan provokasi politik yang sedang bergulir bahkan saling menyerang antar para calon merupakan fenomena dan gejala rutinitas di setiap momen pesta demokrasi.
Indonesia adalah negara yang sudah berpengalaman melaksanakan demokrasi langsung maupun tak langsung, pengalaman ini menjadikan dinamika dan paradigma politik dan paradigma kepemimpinan di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Di era orde baru atau era kepemimpinan Soeharto, Kepemimpinan TNI menjadi suri tauladan dan dianggap rakyat Kepemimpinan TNI paling efektif dan paling baik yang dapat mengalahkan kepemimpinan Sipil yang lemah, lambat dan tak berenergi bahkan disinyalir kepemimpinan TNI hampir menguasai Pemerintahan lebih dari 80 % (delapan puluh persen) saat itu.
Namun, setelah reformasi bergulir sejak tahun 1998, kepemimpinan TNI mulai pudar, setelah SBY berkuasa selama 10 (sepuluh) tahun.
Penilaian terhadap kepemimpinan SBY menuai banyak kritikan atas kekurangan, bahkan praktek Korupsi terjadi di hampir semua level dan tingkatan Pemerintahan; pusat, provinsi, kabupaten/ kota hingga level terbawah Pemerintahan Desa.
Tidak akan kita dapatkan pemimpin dan kepemimpinan yang sempurna di Indonesia (Makmur, 2022), semua akan berakhir dengan kekecewaan. Soekarno berakhir dengan kekecewaan, Soeharto pun berakhir dengan kekecewaan, Gus Dur juga demikian hingga SBY tak lepas dari kekurangan kepemimpinan.
Apakah Jokowi akan seperti Soekarno dan Soeharto, Gus Dur dan SBY? Fenomena dan gejala yang terlihat saat ini akan mengarah kepada kekecewaan rakyat terhadap Kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Fakta dan data beberapa bulan terakhir ini cukup banyak yang menyoroti kepemimpinan Joko Widodo. Presiden rasa kerajaan (Gus Mus, 2023), Presiden seperti Firaun (Cak Nun, 2023), Pemerintahan terburuk sepanjang sejarah (Amin Rasi, 2023), Kekuasaan mengendalikan hukum (Anies Baswedan, 2023), saya kecewa terhadap Jokowi, padahal saya pendukungnya (Ihksan Nusa Bhakti dan Panda Nababan, 2023), dan masih banyak pakar dan ahli yang menyoroti Kepemimpinan Jokowi. Bahkan banyak pensiunan TNI dan Polri yang kecewa dengan Pemerintahan saat ini.
Berdasarkan fenomena dan latar belakang atas fakta-fakta diatas, jika kita mempelajari dan mendalami kondisi sosiologis Bangsa ini, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi bangsa dan negara saat ini dipengaruhi oleh banyak orang-orang baik dan benar di negeri ini justru memilih diam dan mengamankan diri masing-masing karena ketakutan yang luar biasa.
Kesalahan bukan pada Jokowi, tetapi pada orang-orang terdekat yang terus amin-amin dan amin walaupun Jokowi sudah salah langkah. Kondisi inipun diperparah oleh banyaknya orang-orang terbaik dan benar yang tidak berani mengatakan ini benar dan ini salah.
Publik pun kecewa dengan sosok Fahri Hamzah, Fadli zon, Yusril Ihza Mahendara, dan lainnya termasuk Prabowo yang dahulu bersuara keras mengecam gaya kepemimpinan Jokowi, tetapi saat ini tiarap dan berlindung dibawah ketiak kekuasaan.
Tidak usah kaget dan heran, bila banyak yang memprediksi bahwa tidak akan mungkin Amin dan Ganjar-mahfud akan menang dalam Pilpres 2024, dan dipastikan pemenangnya adalah Prabowo – Gibran.
Parameter dan indikator nya sangat faktual berdasarkan hasil survei beberapa lembaga yang kredibel masih menempatkan Prabowo- Gibran akan memenangkan Pilpres 2024.
Tidak hanya menang dalam Pilpres, tetapi juga partai-partai pengusung dan pendukung Prabowo – Gibran akan menguasai Parlemen lebih dari 60 % (enam puluh persen) dan Kepemimpinan Jokowi akan berlanjut dan di teruskan. Amin Rais syndrom (Makmur, 2023) akan terjadi lagi pada 2024.
Anies dan Ganjar akan terlihat di kulit-kulit politik akan menang, tetapi isinya sudah di kuasai Prabowo-Gibran, mengapa? Karena mereka teratur, tertib dan disiplin serta cerdas dalam menggalang kekuatan untuk memenangkan pertaruangan politik ini.
Sebagaimana kata Sayidina Ali bahwa : organisasi yang baik dan benar serta besar tetapi tidak tertib dan disiplin, akan dikalahkan oleh organisasi kecil, tetapi mereka solid, tertib dan disiplin serta cerdas. Ketidakberanian orang-orang baik dan terdidik serta terpelajar dalam menyampaikan gagasan, ide serta pemikiran mereka untuk menyatakan yang maruf dan mungkar, sebagai biang dari berkuasanya prilaku Firaun, prilaku qorun dan prilaku haman, sejak Soekarno, Soeharto hingga Jokowi saat ini.
Dapat disebutkan bahwa Soekarno, Soeharto, SBY dan Jokowi bukanlah seorang Firaun, tetapi perilaku dan tindakan mereka mirip seperti Firaun, apalagi perilaku Haman dan Qorun hampir terlihat setaiap waktu (Cak Nun, 2023).
Hanya segelintir manusia-manusia terbaik Indonesia saat ini yang berani mengatakan yang hak dan bathil, tetapi sayang tidak berada di pusaran kekuasaan dan sangat lemah bargaining posisinya.
Ibarat petinju, mereka berada di kelas Ilyas Pical yang tidak mampu mengalahkan Mike Tyson.
Dibutuhkan petinju kelas berat yang dapat mengalahkan Mike Tyson seperti Evander Hollyfield, Mohammad Ali, atau Lenox Lewis.
Fenomena Demokrasi di Daerah
Di level Pemerintahan Daerah dalam Pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota lebih kental lagi bagaimana perilaku Firaun, Haman dan Qorun terlihat secara nyata.
ASN dan PNS yang bersikap netral akan terpantau oleh Gubernur, Bupati dan Walikota yang sedang berkuasa. Bila ASN netral, akan berhadapan dengan 2 (dua) resiko : pertama tidak akan mendapatkan jabatan, dan kedua kesejahteraan nya pun terancan karena mereka dianggap tidak berjasa.
Netral dan tidak netralnya ASN-PNS adalah pemandangan biasa, yang sudah diketahui oleh Publik. Maju kena – mundur kena, itulah situasi yang sedang dihadapi oleh ASN Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Ketakutan dan kegelisahan para ASN setelah terpilihnya Gubernur, Bupati dan Walikota hasil Pilkada.
Para ASN sudah mulai mengatur strategi untuk bisa dekat dengan Gubernur terpilih, Bupati terpilih dan Walikota terpilih.
Dapat dikemukakan dalam penulisan ini bahwa karier dan reputasi para ASN di daerah 100 % (seratus persen) berada di tangan Kepala Daerah, karena dalam UU ASN Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah yang memiliki kekuasaan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan ASN.
ASN-PNS yang memiliki kontribusi dalam Pilkada, itulah yang akan mendapatkan jabatan strategis dalam Birokrasi.
Sangat kelihatan bahwa pada saat pelantikan pejabat baru di daerah, maka dipastikan mereka yang dilantik oleh Gubernur, Bupati dan Walikota terpilih adalah ring satu atau ring dua atau mereka adalah Tim sukses yang tidak kelihatan saat Pilkada.
Sangat sulit bagi para ASN untuk bersikap netral, karena punya hak pilih. Kalau yang betul-betul netral adalah TNI – Polri karena tidak punya hak pilih.
Ketergantungan ASN-PNS terhadap Kepala Daerah sehingga tidak bisa netral salah satu faktor nya adalah karena kekuasaan Kepala Daerah dalm Pembinaan PNS sangat mutlak dan dominan.
Tidak ada kewenangan dan kekuasaan di bidang Kepegawaian yang melebihi kekuasaan dan Kewenangan Kepala Daerah, mulai dari pengangkatan hingga pemberhentian berada dalam kekuasaan Kepala Daerah.
Banyak ASN-PNS yang melaporkan Gubernur, Bupati dan Walikota ke KASN, Menpan dan BKN karena mereka dirugikan, tetapi 99 % (sembilan puluh sembilan persen) laporan para ASN-PNS tersebut di tolak. Mengapa di tolak?
Karena KASN, Menpan dan BKN tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk memberikan tindakan dan keputusan sebagaimana yang diatur dalam UU ASN.
Wajar dan pantas lah bila para ASN-PNS Daerah menjadikan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai raja seperti perilaku Firaun yang mereka sujud dan tunduk setiap hari hingga mereka pensiun. *
Discussion about this post