Kini, berkat adanya Cincau Clinic, paling tidak seminggu sekali Wahyudi bisa menjual daun cincau sebagai bahan minuman.
“Saya menanam cincau jenis jelly. Tapi karena Cincau Clinic butuh juga cincau bulu, maka saya bisa mengajak petani lain. Alhamdulillah, adanya akses pemasaran ini saya bisa memperluas lahan agar kesinambungan pasokan terjaga,” papar Wahyudi.
Fidya mengakui bahwa adanya UMKM yang bisa menggerakkan rantai pasok (supply chain) merupakan tujuan utamanya mendirikan Cincau Clinic. Rantai pasok yang dimaksud adalah adanya petani yang memasok bahan baku, UMKM yang memproduksi produk, dan mengirimkannya kepada konsumen.
“Sebaik-baiknya bisnis tentu yang bisa bermanfaat buat orang banyak, termasuk saudara-saudara kita para petani,” urai Fidya yang juga alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Luar Negeri
Fidya juga mengingatkan bahwa pedagang es tradisional kini perlahan mulai tergeser oleh dominasi minuman kekinian yang beberapa diantaranya merupakan minuman dari luar negeri.
Ia menyebut misalnya dominasi bubble tea, minuman manis asal Taiwan, berbahan dasar teh yang dicampur susu, es, dan boba dari tepung tapioka. Lalu ada thai tea, minuman khas negeri gajah putih, Thailand.
“Kita sadar sekarang eranya globalisasi. Jadi tantangannya adalah bagaimana minuman tradisional bisa menyesuaikan diri tanpa harus meninggalkan identitas aslinya,” ujar Fidya.
Oleh karena itu, Cincau Clinic memasarkan es cincau susu yang dikreasi dalam berbagai varian rasa, mulai dari es kopyor, brown sugar, alpukat, cocopandan, sampai susu kedelai (soya).
Discussion about this post