Oleh: Hafis Azhari
ADA empat pohon mangga yang sedang ditanam istri saya sore ini. Tiga pohon sudah berhasil ditanam di pekarangan rumah, namun ketika hari mulai gelap ia memutuskan untuk menanam satu pohon lagi besok pagi, setelah terbitnya matahari.
Ia mencuci tangannya di bawah pancuran air keran yang terpasang di kamar mandi.
Saya menyuruh petukang untuk membuatkan dua pancuran air, yang satu untuk mengisi bak mandi, satunya lagi di samping bak agar memudahkan kami mencuci atau membersihkan sesuatu dari pancuran air tersebut.
Setelah isya, istri saya menyediakan hidangan makan malam, kemudian kami sekeluarga berkumpul di sekitar meja makan.
Kedua puteri saya, Adiba dan Alena sudah duduk seraya berdoa sambil tertawa-tawa saling berlomba siapa di antara mereka yang lebih fasih membaca doa sebelum makan.
Istri saya menegur mereka agar duduk dengan sopan saat berdoa, “Karena Tuhan akan mencintai hamba-Nya yang lebih serius berdoa, daripada orang yang bercanda seolah-olah mempermainkan doa.”
Alena membela diri bahwa ia memang bercanda, tetapi ia tak berniat mempermainkan doa, apalagi mempermainkan Tuhan.
Meskipun kakaknya, Adiba berusaha menengahi bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, terlebih kepada hamba-Nya yang mau berdoa sebelum dan sesudah makan.
Akhirnya, saya pun menyarankan mereka agar menghabiskan makanannya, terutama Alena yang seringkali menyisakan makanan di piring. Tapi malam itu, tampaknya ia makan dengan lahapnya hingga tak menyisakan sisa makanan sedikit pun.
Ketika mereka sedang belajar di kamar, istri saya menatap mata saya dengan sorotan tajam, “Ada apa, Pah?” tanyanya kemudian. “Ke sini sebentar, Mah,” saya mengajaknya menuju sofa ruang tamu, dan kami pun duduk berdampingan.
“Ada apa sih? Sepertinya Papah serius banget tadi di meja makan?” Saya menatap matanya, kemudian berbisik pelan, “Mah, apa yang akan kita lakukan kalau malam ini adalah malam terakhir kita?” “Maksudnya?”
“Malam ini akan datang kiamat, Mah,” kata saya.
“Ah, Papah ada-ada saja,” balasnya tak acuh sambil mengamit pot bunga dan membetulkan dahan kawat yang melengkung. “Saya serius, Mah, malam ini akan datang kiamat,” tegas saya lagi. “Ah, dari mana Papah tahu?” “Serius Mah, malam ini!”
Sorot mata istri saya mulai berkaca-kaca. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Tapi saya enggak dengar kabar apa-apa?” Ia menghilang sebentar ke dapur, membuatkan dua cangkir teh, kemudian kembali duduk di sofa tanpa suara.
Cahaya lampu agak berkedap-kedip, lalu Adiba berteriak dari kamar menanyakan pada ibunya.
Seketika saya menjawab, bahwa tegangan listriknya mungkin sedang menurun. “Sebentar lagi juga terang kembali, Sayang,” kata saya menenangkan.
Istri saya menatap lampu dengan perasaan waswas. “Papah serius, malam ini?” ujarnya. “Ya,” kata saya mengangguk. “Lalu, apa yang harus kita persiapkan, Pah? Apakah kita perlu telepon saudara-saudara kita sekarang?”
“Saya kira tidak perlu.” “Apakah akan ada bom hidrogen? Apakah gara-gara perang antara Israel dan Palestina?” “Bukan,” kata saya menggeleng, “Ini memang sudah waktunya akhir zaman.”
“Semacam tutup buku di Lauhul Mahfudz, begitu?” “Kurang lebih seperti itu,” kata saya dengan tatapan menerawang.
“Ah, saya enggak paham, Pah.” “Sama, saya juga enggak paham. Saya cuma merasakan saja. Kadang perasaan ini membuat saya takut… tapi, anehnya kadang juga membuat hati merasa tenteram.”
Saya melangkah pelan menuju pintu kamar, menoleh ke dalam untuk memastikan kedua puteri saya sedang belajar. Rambut Alena yang nampak agak pirang, sudah memanjang melewati bahu dengan warna berkilauan di bawah sinar lampu 20 watt.
Saya kembali ke sofa sambil merendahkan suara, “Mah, sekarang Papah mau bilang, bahwa tanda-tandanya sudah saya rasakan sejak seminggu lalu.” “Maksud Papah?”
“Saya mimpi munculnya suara melengking seperti terompet raksasa yang ditiup oleh laki-laki berjubah putih, dengan tubuhnya yang tinggi dan besar.”
“Mungkin itu yang dimaksud Malaikat Israfil?” “Suara itu mengisyaratkan bahwa semua yang ada di muka bumi ini akan hancur dan binasa.
Tadinya saya enggak mempedulikan mimpi itu, tapi ketika paginya saya berangkat mengajar ke sekolah, tiba-tiba Pak Supadilah wali kelas tiga A bercerita di kantor guru, bahwa dia telah bermimpi sama dengan apa yang saya mimpikan. Jadi, mimpi dia itu persis sama, khususnya mengenai jenis terompetnya, ciri-ciri peniupnya, pakaiannya, bahkan bentuk kehancuran yang disaksikannya.” “Setelah terompet itu ditiup?”
“Ya, persis sekali.” Kami terdiam sejenak, lalu lanjut saya, “Siang harinya, ketika saya keluar kelas sehabis mengajar, saya berpapasan dengan Ibu Irawaty yang habis mengajar di kelas dua C, tampaknya dia diam saja ketika saya sapa, lalu saya mengajaknya duduk-duduk di bangku panjang untuk menanyakan ada masalah apa.
Tiba-tiba dia membuka mulutnya, lalu menceritakan mimpi yang sama dengan apa yang kami mimpikan.
Saya tak habis pikir, sebab dia pun bicara tentang terompet, tentang manusia raksasa yang berjubah putih, bahkan bentuk lengkingan terompet itu pun sama saja. Lalu, saya menduga, barangkali banyak orang-orang yang bermimpi sama, hanya mereka enggak mau menceritakannya seperti Ibu Irawaty dan Pak Supadilah.”
“Jadi, Papah percaya dengan mimpi itu?” ulang istri saya, sambil menatap lampu yang beberapa kali berkedip.
“Saya yakin malam ini, Mah. Tanda-tandanya sudah jelas sekali.” Istri saya menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah saya. “Kira-kira jam berapa, Pah?” “Ini malam apa, Mah?” tanya saya spontan. “Malam Jumat.”
“Mungkin beberapa saat setelah jam dua belas malam.” “Jadi, begitu di mimpi Papah? Ada kabar mengenai waktunya?” “Tidak,” kata saya menggeleng. “Di mimpi itu suasananya gelap sekali, kemungkinan besar di sekitar jam-jam itu. Jadi, malam ini di wilayah Indonesia, Asia dan sekitarnya, lalu menyusul wlayah-wilayah lainnya.
Prosesnya kira-kira memakan waktu duapuluh empat jam.” “Lalu, apa yang harus kita lakukan malam ini, Pah? Apakah Adiba dan Alena perlu diberitahu sekarang juga?”
“Ssst, jangan, nanti mereka panik… lebih baik kita hadapi saja bersama-sama, apa yang akan terjadi malam ini.”
Kami duduk duduk dalam diam, suasana hening dan senyap. Saya mengambil cangkir dan menghirup teh yang sudah mendingin. Istri saya menoleh sebentar untuk memastikan apakah kedua puteri kami sudah tidur. “Apakah kita pantas mendapatkan kehancuran ini, Pah?”
“Bukan soal pantas atau tidak pantas, masalahnya ini sudah akhir zaman, sudah ketentuan Tuhan. Seperti halnya Alena yang jatuh dari pohon jambu dua bulan lalu. Diterima atau tidak diterima, kejadian itu sudah menjadi catatan-Nya di sana,” kata saya menunjuk ke atas.
“Tapi dalam beberapa hari ini, hampir tidak ada siaran teve yang menayangkan akan datangnya kiamat?”
“Untuk apa memberitakan sesuatu yang belum terjadi? Misalnya, kejadian tsunami beberapa tahun lalu di perairan Aceh atau di Selat Sunda, toh malam harinya enggak ada kabar apa-apa, tapi pagi harinya tiba-tiba terjadi begitu saja, kun fayakun?”
“Lalu, bagaimana dengan Dajjal, dan datangnya Imam Mahdi?”
“Saya kira, itu semacam metafora atau simbol yang dibuat Tuhan untuk diwujudkan ke dalam teks kitab suci, tapi boleh jadi sosok-sosok perusak itu memang sudah ada, begitu pun sosok-sosok penegak kebenaran dan keadilan.
Discussion about this post