Menurut Natalia, laporan ini menegaskan bahwa keselamatan jurnalis bukan hanya isu personal, tetapi berdampak langsung terhadap kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, menjelaskan temuan Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 ini mencatat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian. Di mana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%). Aktor utama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah Organisasi Masyarakat (23%), Buzzer (17%), dan Polisi (13%).
Selain itu, sebanyak 39% jurnalis mengaku pernah mengalami penyensoran, baik dari redaksi maupun pemilik media. Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) untuk menghindari konflik dan kontroversi yang berlebihan.
“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Melalui temuan ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil. Dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis di Indonesia,” ujar Nazmi.
Intimidasi Buat Jurnalis
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana, dalam diskusi terkait survei ini menyoroti, meskipun angka kekerasan terhadap jurnalis menurun, kualitas kekerasannya meningkat. Ia menjelaskan, tahun 2024 ada jurnalis yang meninggal dunia, padahal tidak terjadi pada 2023 dan 2022.
“Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi,” ujarnya.
Bayu juga menambahkan, kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik. Akan tetapi juga melalui berbagai bentuk intimidasi, baik dari pihak tertentu maupun tekanan ekonomi. Menurut dia, banyak jurnalis yang akhirnya melakukan swasensor karena takut akan dampak yang lebih besar.
“Ada ancaman tidak langsung berupa pembatasan kerjasama media dengan pemerintah atau swasta jika mereka menerbitkan berita yang dianggap sensitif. Karena itu, perlindungan terhadap jurnalis harus menjadi prioritas bersama agar kebebasan pers tetap terjaga,” tegas dia.
Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis. Karena itu, pihaknya sangat mendukung keselamatan para jurnalis. Tidak hanya bertanggung jawab dalam memastikan keamanan fisik, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan pers.
Ia menekankan, kebebasan pers yang sehat akan berdampak positif pada pembangunan demokrasi dan stabilitas nasional. Dengan informasi yang akurat dan transparan, pihaknya berharap kepercayaan publik terhadap media dan pemerintah juga dapat terus meningkat.
“Kami akan terus berupaya membangun komunikasi yang lebih erat dengan media serta memberikan akses yang lebih baik terhadap informasi publik. Angka 60,5 ini kita syukuri, tapi di tahun-tahun berikutnya kita harap indeks ini benar-benar masuk kategori ‘terlindungi’,” jelas dia. *
Discussion about this post