Kisah ‎H’Hen dan He Yan

oleh -301 Dilihat
oleh

Oleh: Herdiyanto Yusuf

SAYA baru menuntaskan serial Tiongkok berjudul The Legend of Female General di Netflix ketika menerima pesan WA dari Mbak Novita Sari Yahya.

‎Dia mengirimkan naskah artikel yang juga berbicara tentang perempuan-perempuan tangguh yang mengubah panggung kecantikan dunia.

‎‎Mbak Novita meminta saya membacanya sekadar menambah khazanah. Pun kalau minat, silakan dimuat di media online lokal untuk berbagi ilmu dan literasi.

‎Tulisan ini seperti palu godam yang menghantam stereotip kuno, memandang perempuan hanya sebagai citra cantik dengan tonjolan aksesoris mewah.

‎Mbak Novita—dokter umum, peneliti, sekaligus mantan finalis Putri Ayu Indonesia 1995—menunjukkan pengalamannya di dunia pageant bahwa selama sepuluh tahun terakhir, panggung kontes kecantikan dunia itu sebenarnya sudah bertransformasi signifikan.

Dari sekadar etalase paras ayu menjadi arena gagasan, advokasi, dan misi sosial.

‎Dalam artikelnya, ia menyinggung bagaimana Miss Universe 2015–2024 melahirkan pemenang dengan karakter kuat: dari Pia Wurtzbach yang membawa pesan keberanian, hingga Victoria Kjaer Theilvig yang menekankan aksi nyata.

BACA JUGA:  Anak Perempuanku dan Kemalasannya

‎Contoh paling menyentuh adalah H’Hen Niê dari Vietnam—gadis Ede yang lahir di desa terpencil, tumbuh dalam keterbatasan ekonomi, bahkan pernah menjadi pembantu rumah tangga.

‎Alih-alih tunduk pada tradisi pernikahan dini di kampungnya, H’Hen memilih pendidikan, melawan garis nasib, dan akhirnya menembus panggung dunia sebagai simbol perempuan Asia yang membalik pakem patriarki.

‎Di balik kisah pageant global itu, The Legend of Female General menjadi seperti cermin sejarah.

‎Serial ini menyorot He Yan, perempuan bangsawan cantik di era dinasti Wei yang penuh tata krama ketat. Era ketika suara perempuan hanya dianggap gema lembut di balik dinding istana.

‎Patriarki mengakar: keputusan militer adalah urusan lelaki, sedangkan perempuan dipagari pada ranjang dan ruang bordir.

‎Namun He Yan membalik keadaan.

‎Ia menyamar sebagai pria untuk masuk militer, menaklukkan skeptisisme para jenderal, dan akhirnya memimpin pertahanan Kota Run—sebuah kota strategis di tepian sungai yang kala itu menjadi rebutan pasukan Wutou.

BACA JUGA:  Takdir Politik

‎Dalam salah satu adegan paling emosional, He Yan mengajak para perempuan bangsawan ikut mengangkat senjata, mematahkan keyakinan bahwa hanya laki-laki yang layak menjaga tembok kota.

‎Di tengah kepungan musuh, pesannya tegas: “Takdir tidak memilih jenis kelamin, hanya keberanian.”

‎Adegan itu terasa seperti gema jauh yang menjawab panggung Miss Universe hari ini: perempuan tidak menunggu izin untuk memimpin.

‎Mbak Novita menulis bahwa perempuan masa kini tak perlu lagi menonjolkan feminisme yang berlebihan, apalagi terjebak pada lomba tas mewah dan kemilau aksesori.

‎Yang dibutuhkan adalah autentisitas, visi sosial, dan keberanian menabrak batas, persis seperti yang dicontohkan H’Hen di panggung dunia dan He Yan di medan perang.

‎Dari Run—kota imajiner yang memadukan romantika sejarah dengan gemericik pedang—hingga panggung megah Miss Universe, pesannya sama:

‎perempuan sejati bukan sekadar simbol kecantikan, tetapi kekuatan yang menggerakkan sejarah.

‎Mereka bukan lagi bayangan di balik patriarki, melainkan penentu arah zaman. *