Tanpa Nama

oleh -426 Dilihat
oleh

Oleh: Herdiyanto Yusuf

TERSEBUTLAH seorang kepala desa yang agak nakal, pikirannya. Ia tak suka diam di zona nyaman. Ide-idenya liar dan membuat banyak orang merasa terganggu.

Ia merekrut anak-anak muda lulusan perguruan tinggi untuk pulang kampung.

Bukan sekadar jadi staf desa, tapi ikut mengelola badan-badan yang dibentuk untuk menghidupkan ekonomi.

Bahkan, kepala sekolah PAUD di desa itu lulusan S2 dari sebuah universitas di Jawa.

“Kalau ada yang mau lagi, ayo pulang. Mau kuliah sambil kerja di desa, kita biayai,” ucapnya suatu malam.

Parallax Image

Dari mana uangnya? “Ya, dari dana desa,” jawabnya enteng.

Saya tak lagi menanyakan bagaimana ia mengelola APBDes hingga bisa menyekolahkan anak muda. Biarlah itu rahasia dapur.

Usianya masih muda, tapi bicaranya mantap. Ia pernah bekerja di luar, lalu menikah dengan seorang gadis kampung setempat.

Dari situ jalan hidupnya berubah. Kini ia duduk di kursi kepala desa—sebuah kursi yang biasanya diisi oleh orang-orang tua dengan pikiran mapan.

Suatu hari saya sengaja mengajak diskusi karena mendengar gagasannya yang berlari liar.

Ia bicara tentang BUMD yang masuk ke bisnis mineral. Nikel, katanya, adalah denyut utama Banggai.

Banyak izin tambang beroperasi, tapi rakyat hanya jadi penonton. Paling-paling jadi buruh outsourcing, menunggu belas kasihan perusahaan.

Ia lalu bercerita tentang seorang bapak dengan sepuluh pohon cengkeh di desanya.

Dulu, panen cengkeh bisa menyekolahkan anak-anaknya. Setelah tambang masuk, pohon ditebang, tanah diganti rugi.

Update artikel kami di Google News dan WhatsApp Channel