Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
LOGIKA, etika dan estetika merupakan 3 (tiga) pilar utama dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan yang harus dipegang teguh oleh sebuah sistem kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah.
Logika terkait dengan Kebenaran, Etika terkait dengan Kebaikan dan Estetika terkait dengan Seni menyampaikan kebenaran dan kebaikan.
Semua sikap, tindakan dan perilaku yang dilakukan pejabat publik dan pejabat politik yang benar belum tentu baik, dan juga tidak semua sikap, tindakan dan perilaku baik yang dilakukan pejabat adalah benar.
Sebuah diskursus yang menarik dicermati untuk pembelajaran kehidupan Indonesia yang baik dan benar.
Presiden Jokowi telah banyak berbuat kebenaran: membangun infrastruktur, membangun SDM, dan meningkatkan kesejahteraan, dan seterusnya.
Tetapi Presiden Jokowi dinilai tidak baik (tidak etis) mengusung Gibran sebagai Cawapres dan menyebut dirinya bisa kampanye dan memihak, membagi bantuan sosial (bansos) di depan Istana dan masih banyak lagi statement Presiden Jokowi yang benar tetapi tidak baik.
Tidak ada salahnya dan sangat benar Menteri Air Langga membagi-bagikan Bantuan sosial kepada rakyat yang membutuhkan, tetapi sangat tidak baik atau sangat tidak etis bantuan sosial itu diatas namakan kepentingan politik.
Tidak ada salahnya Menteri Zulhas membagi-bagikan Bantuan Sosial tetapi sebaiknya dilakukan oleh Menteri sosial.
Banyak pejabat publik dan pejabat politik di negeri ini yang mengutamakan kebenaran (logika), tetapi mengabaikan kebaikan (Etika).
Setiap Ilmu berawal dari Filsafat dan berakhir dengan Seni (Ndraha, 2000: dalam filsafat dan seni Pemerintahan). Etika dipelajari dalam filsafat Moral.
Dari sinilah akar mendasar dari segala perilaku, sikap dan pemikiran manusia, dimana menempatkan etika dan moralitas diatas segala peradaban manusia.
Ali Bin Abu Thalib pernah menyebutkan bahwa ia lebih menghargai orang beradab dari pada orang ber-ilmu, sebab kalau berbicara Ilmu Pengetahuan maka saitan lebih berilmu dari pada manusia, sebab Ilmu manusia hanya setetes air yang menempel pada satu jari manusia.
Menjelang pesta demokrasi 14 Pebruari 2024, diskursus masalah Etika dan Moral mencuat tinggi dan trend setelah debat Cawapres ke II, tanggal 21 Januari 2024.
Saat itu, Cawapres Gibran Rakabuming Raka meremehkan Cawapres 01 dan Cawapres 03 dengan statement yang kurang beradab atau tidak etis.
Berbagai sudut pandang telah hadir dalam menyoroti perilaku pejabat publik dan pejabat politik akhir-akhir ini.
Bagi penulis, sandaran utama dalam berkehidupan bangsa dan bernegara ini adalah Pancasila.
Apabila sikap, pemikiran dan perilaku rakyat Indonesia telah menyimpang dari Pancasila, maka hal itu sangat di yakini akan melabrak dan bertentangan dengan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kemanusiaan Dalam permusyawaratan dan Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia dan telah melabrak Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Undang-undang dan segala turunannya.
Isu utama yang sangat populer adalah pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan Presiden bisa berkampanye dan bisa memihak ke salah satu Calon.
Secara konstitusional, apa yang disebutkan Presiden adalah benar, tetapi hal itu tidak baik (tidak etis) Presiden menyampaikan itu apalagi disampaikan di tengah perhelatan politik.
Sama halnya dengan Gibran dan Bansos. Kedua-duanya tidak melanggar Undang-undang atau Peraturan dibawahnya, cuma hal itu tidak baik dan tidak etis Presiden Mengusung Jibran sebagai Cawapres Prabowo dan membagi-bagikan Bansos di depan Istana (Jusuf Kalla, 2024).
Discussion about this post