“Orang mengira dukun orang pintar, padahal merekalah yang dibodohi,” juga komentar “kalau mau gandain uang INVESTASI. Bukan malah ke dukun. Sakit Jiwa. Sakit Mental.”
Itu baru dua komentar warganet yang merespons kasus dukun pembunuh ini. Sungguh ironis, korban sudah tak bernyawa masih saja disalahkan.
Dalam kasus ini tak hanya empati yang dipertebal, tetapi berdiri dan melihat dari sudut pandang korban. Anda tidak tahu apa yang dialaminya sehingga kehilangan harapan, dan satu-satunya harapan yang terlihat hanya “dukun pengganda uang.”
Kolom lifestyle The Guardian pernah memuat terkait penipuan uang dalam bentuk digital. Artikel berjudul Online Fraud: Victim Blaming and The Emotional Price of Falling For a Scam ini, ditulis Anna Tims pada 20 Februari 2022.
Dalam artikelnya, ia menulis tentang seorang korban penipuan bernama Ary Baker, yang kehilangan dana pensiunnya yang diinvetasikannya dalam bentuk obligasi. Ia juga menulis nama-nama korban lain dengan kasus penipuan keuangan yang berbeda.
Dalam artikelnya, ia menyimpulkan penipuan tetap dianggap sebagai kejahatan dengan prioritas rendah, kejahatan tanpa korban, atau kejahatan yang tidak menimbulkan kerugian seperti yang biasa terjadi dalam jenis kejahatan lainnya.
Pola yang sama, menyalahkan korban juga terjadi dalam kasus-kasus tersebut. Korban penipuan yang telah kehilangan uang dianggap bersalah dan sulit melapor pada aparat, karena kembali lagi yang diterima adalah komentar menyudutkan.
Artikel tersebut menulis bahwa hanya sekitar 4 persen korban penipuan yang melapor pada aparat , tetapi pada akhirnya mendapatkan komentar yang menyalahkan korban.
Jika sedikit saja mau memahami, penipuan keuangan berbasis digital saat ini telah menggunakan teknologi canggih dan taktik psikologis yang mampu menarik banyak orang. Ini membuat bentuk penipuan berbasis digital yang beredar bebas di internet, semakin sulit dibedakan dengan layanan keuangan digital yang sah.
Kecenderungan menyalahkan korban timbul dari pemikiran bahwa dunia ini adil. Dilansir dari www.verywellmind.com, anggapan ketika hal buruk terjadi pada seseorang, ada pemikiran bahwa itu terjadi dari perilaku mereka sebelumnya. Di mana diyakini ada semacam karma atau “ada aksi, ada reaksi,” di mana perilaku korban mempengaruhi hal-hal lain yang terjadi padanya.
Saya pikir respons menyalahkan korban dalam kejahatan apa pun, tak akan berhenti dengan segera. Menyalahkan korban telah mengakar kuat di masyarakat. Padahal secara tidak langsung, menyalahkan korban adalah tindakan yang membungkam korban atau membuat korban malu dan takut untuk berbicara.
Tak ada manusia yang ingin mengalami hal-hal buruk, seperti kekerasan seksual, perkosaan, penipuan, atau lainnya. Setiap orang tentu ingin hidupnya seperti dalam lukisan masa kanak yang penuh warna cerah dan ceria.
Anda mungkin tidak tahu dampak psikis apa yang terjadi pada korban yang disalahkan; bagaimana korban berjibaku dengan rasa bersalah yang ditimpakan padanya, bagaimana korban memandang dirinya sebagai manusia yang “pantas” menerima keburukan itu, dan lainnya.
Stop menyalahkan korban. Stop menghakimi korban. Mulailah dari diri sendiri, melihat dari sudut pandang korban tindak kekerasan seksual, perkosaan, penipuan, dan lainnya. Beri dukungan, agar korban mampu mengungkapkan kondisi mereka.
Stop victim blaming; berhenti di kamu. Pelan-pelan ubah pola pikir kawan atau saudara untuk berhenti menyalahkan korban. *
Penuls adalah pegiat literasi
Discussion about this post