Padahal, katanya listrik untuk kehidupan yang lebih baik. Padahal, para birokrat-birokrat kita tak segan-segan menghambur-hamburkan puluhan miliar uang rakyat untuk sekadar menjadi biaya sewa hotel dan makan-minum para pejabat daerah kita.
Atas dalih rapat. Atas dalih menjamu tamu-tamu pejabat yang berkunjung ke daerah ini. (Banggai Raya, edisi 7 April 2023).
Atau, mungkin sudah begitukah nasib wong cilik, kaum jelata. Statusnya sekadar dipakai sebagai ikon pemanis retorika politik. Demi merayu suara rakyat. Demi meraih kekuasaan. Demi mendapatkan jabatan nan bergelimang harta.
Bagi elite-elite politik dan birokrasi yang terkadang tak mengindahkan etika dan moral dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Tapi sudah seperti itulah tradisi politik kita dalam kurun waktu dua dekade terakhir, pasca reformasi. Setelah masa jabatan dalam struktur kekuasaan dibatasi maksimal sampai dua periode.
Bagi pejabat yang telah berhasil meraih pucuk kepemimpinan nasional ataupun daerah, semuanya berlomba ingin cepat-cepat menumpuk harta kekayaan. Demi mengembalikan modal yang telah habis terpakai.
Atau, demi melipatgandakan lagi hartanya bagi kepentingan pencalonan ke periode berikutnya, atau ke jenjang jabatan lebih tinggi. Persetan memikirkan kesejahteraan rakyat.
Persetan pula mengabdi bagi nusa dan bangsa. Sepanjang korupsi bisa tetap terjaga kerahasiaannya, atau bisa diperdamaikan, kesempatan itu jangan sampai terlewatkan. Sikaaattt…!
Nah fenomena seperti itulah yang jamak kita saksikan dalam sistem perpolitikan dan pemerintahan kita selama ini.
Maka jangan heran apabila harta kekayaan seorang pejabat penyelenggara negara tiba-tiba bisa meroket melampaui kewajaran akal sehat jika dihitung berdasarkan pendapatan yang sah sesuai gaji pokok dan tunjangan jabatannya.
Sekadar contoh, Rafael Alun Trisambodo, misalnya, pejabat eselon tiga (Kabag Umum) di Kantor Perpajakan Wilayah Jakarta Selatan, memiliki harta kekayaan sebesar RP. 56 miliar sesuai LHKPN.
Belakangan KPK mencokok Rafael sebagai tersangka penerima gratifikasi (korupsi) setelah PPATK mengindikasikan adanya transaksi antar bank dari laporan keuangan milik Rafael yang mencapai angka lima ratus miliar rupiah, pasca ribut-ribut anaknya yang juga menjadi tersangka penganiayaan berat terhadap anak dibawah umur.
Dan Bupati Amirudin, meski baru menjabat selama enam bulan, namun harta kekayaannya sudah bertambah sebanyak lebih dari 8 (delapan) miliar rupiah.
Jika sebelum menjabat bupati, harta kekayaannya tercatat sebanyak Rp. 63 miliar lebih sesuai laporannya ke KPU Banggai saat mencalonkan diri pada Pilkada 2020 (Luwuk Times, edisi 29 Oktober 2020).
Namun sampai dengan Desember 2021 atau setelah enam bulan menjabat Bupati Banggai harta kekayaannya telah bertambah menjadi sebesar Rp. 71,08 miliar lebih sesuai laporan LHKPN-KPK (TUTURA.ID, edisi 29 Maret 2023).
Atas prestasinya mengumpulkan harta kekayaan pribadi itu Bupati Amirudin bahkan tercatat menjadi juara terbesar kedua, setelah Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid yang mencatatkan harta kekayaannya dalam LHKPN-KPK 2021 mencapai Rp. 266,71 miliar, sekaligus menjadi pemegang rekor tertinggi sebagai kepala daerah terkaya di Sulawesi Tengah.
Nah kalau gaji pokok kepala daerah (bupati) sesuai PP No. 59 Tahun 2000 ditetapkan perbulan sebesar Rp. 2,1 juta, maka dari mana sumber tambahan pendapatan Bupati Amirudin yang dalam waktu enam bulan nilainya bertambah sebesar itu? Wallahu alam bissawab…!*
Penulis adalah advokat dan Ketua DPC Perkumpulan Pengacara Dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kab. Banggai.
Kunjungi kami juga di GOOGLE NEWS
Discussion about this post