Tentu saja tanggungjawab pertama berada di pundak sekelompok kecil yang dipercaya dan dipilih untuk melakukan pengendalian. Pemerintah sebagai pemegang otoritas sementara, sebelum Ia disirkulasi atas kegagalan mengendalikan semua itu. Hawkley dalam _Democracy Kills_ mengingatkan bahwa demokrasi tanpa otoritas yang kuat berpotensi membunuh warganya jauh lebih cepat dibanding sebaliknya. Karenanya, negara mesti memperlihatkan dirinya bukan atas kontrol oligarki, tapi kehendak konstitusi.
Haiti sebagai negara demokrasi hanya berpeluang eksis 57 tahun ketimbang Kuba yang berpeluang hidup 77 tahun dibawah sistem totaliter. Padahal demokrasi disadari lahir sebagai antitesis atas sistem otoritarianisme. Bagaimanapun kendali atas semua euforia demokrasi membutuhkan otoritas dalam bentuk _rule of law._ Tanpa itu demokrasi tak lebih dari sekedar mobokrasi yang sejak awal dicemaskan filosof Socrates.
Demokrasi tak hanya diperjuangkan demi rakyat, tapi bagaimana Ia dikendalikan senyatanya oleh dan untuk representasi rakyat (Suseno, 2017). Pemaknaan itu sekaligus memberi pesan pada kita soal bagaimana menempatkan orang-orang terbaik dalam tampuk pemerintahan _(primus interpares)._ Mewakilkan bukan sekedar memperbanyak jumlah kepala, tapi sejogjanya bagaimana meletakkan isi kepala terbaik di lembaga pemerintahan.
Bila idealitas demokrasi luput di kontrol oleh dirinya sendiri _(civil society),_ maka realitas akan membiarkan para _demagog_ memanfaatkan ruang publik beserta perangkat teknologinya untuk membangun kerajaan lewat projek padat modal. Praktek sistem _ijon_ bersama kaum oligarki secara perlahan membusukkan demokrasi. Dibawah kendali mereka demokrasi di bajak dengan dan atas nama _big data_ pemiliknya. Bila kondisi ini tak segera di rawat jalan, tanpa sadar kita sesungguhnya sedang memberangus cita luhur konstitusi, termasuk _legacy_ para reformis ’98. *
Discussion about this post