Di Amerika, kelompok masyarakat dapat menyebarkan angket pada sejumlah dapil dimana wakil direpresentasikan. Dengan jumlah minimal yang ditentukan oleh undang-undang, kelompok pengaju hak recall, dapat mengganti wakilnya di parlemen, termasuk gubernur, walikota dan bupati.
Jadi mekanisme recall tak hanya melulu melekat secara atributif pada wakil di parlemen, juga dapat digunakan langsung masyarakat. Dengan begitu wakil yang impoten dapat dengan cepat di koreksi tanpa harus menunggu pergantian 5 tahun berikutnya. Masyarakat sewaktu-waktu punya akses melakukan koreksi di tengah jalan.
Teknisnya semacam mencari suara publik (popular vote) untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD RI. Bila terpenuhi pada batas minimum, maka mekanisme recall dilanjutkan pada tahap pemilu lokal yang cepat dan ringkas. Isinya hanya dua, yaitu setuju mengganti, dan siapa alternatif dari sekian calon yang akan di coblos. KPU setempat memfasilitasi.
Kedua, terhadap mekanisme penghitungan surat suara (ballot paper) yang lama dan panjang perlu didesentralisasikan. Dengan prinsip penghitungan selesai di tempat (TPS), maka perjalanan surat suara tak perlu mengalami pembajakan di level selanjutnya (kecamatan, kab/kota dan provinsi). Ini menghemat biaya pemilu yang mahal. Mekanisme itu sebenarnya praktek usang orde baru nirteknologi.
Lewat penghitungan di tempat, Formulir Plano C1 dapat langsung di input ke pusat tanpa harus mampir di tiga lokasi (kecamatan, Kab/kota, dan provinsi). Jadi perhitungan surat suara tamat di TPS. Tak ada rekap ulang di jenjang selanjutnya. Itu butuh waktu, biaya, serta berpotensi rusak atau sengaja dirusakkan oleh tangan jahil.
Migrasi rekap menjadikan surat suara rentan mengalami pemerkosaan, penjarahan, penggelembungan, pengubahan, serta upaya cocokologi menurut kepentingan tertentu. Mungkin ini yang dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya terstruktur, sistematis, dan masif. Kelemahan ini seharusnya tak perlu terulang di setiap perhelatan pesta demokrasi.
Kedua gagasan itu mungkin dapat dimulai dengan merevisi mekanisme pemilu lewat UU No.7/2017 dan mekanisme representasi wakil rakyat pada UU MD3 No.13/2019. Pengaturan lewat dua undang-undang itu setidaknya dapat menyederhanakan mekanisme penghitungan suara yang panjang, serta mendudukkan kembali makna kedaulatan rakyat secara konkrit. Tanpa itu, daulat rakyat terpasung oleh kekuatan partai dan oligarchi. *
Discussion about this post