Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
TAHUN 1982, penulis mulai memasuki masa perkuliahan di Kota Jogya bersama teman-teman dari Tolitoli, Poso, Palu, Donggala dan Luwuk Banggai. Sebuah pemandangan baru di kota pelajar ini yang tak terlihat sewaktu di Luwuk Banggai.
Kesederhanaan, kesantunan, kerendahan hati dan sikap-sikap terbaik penulis temukan di Kota Gudeg ini. Tentunya dengan berbekal Ijazah SMAN 1 Luwuk jurusan IPA pada saat itu, penulis berpikir kualitas dan kemampuan sudah akan setara dengan teman-teman di Jawa atau Jogya.
Faktanya, sangat jauh dan tidak berbanding lurus sebagaimana yang penulis pikirkan saat itu.
Kualitas lulusan SMAN 1 Luwuk pada saat itu masih dibawah rata-rata anak-anak Jogya dan Jawa lainnya.
Jogya sangat pantas dijuluki Kota Pelajar, tetapi lebih dari itu Jogya sebagai Kota Perubahan Indonesia. Dari sinilah konsep-konsep bepemerintahan, konsep bernegara dan berbangsa itu lahir.
Pantas dan sangat layak Jogya, berdasarkan penilaian Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai Kota atau daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia.
Mengapa masyarakat Jogya lebih bahagia, karena mental dan moral nya diatas rata-rata.
Mulai dari Sultan hingga tukang becak selalu menampilkan mental persahabatan, mental kerukunan, dan penghargaan terbaik terhadap anak-anak rantau dari seluruh penjuru Indonesia.
Banyak anak-anak Papua, Ambon termasuk dari Luwuk Banggai yang akhlak dan moral nya berubah 360 derajat di sumbang oleh kehidupan Kota Jogya.
Putera-putera terbaik Sulteng: Galib Lasahido, Saleh Sandagang, Moh Maruf Bantilan, Basri Sono, Arif Patanga, Irianto Malingong, Nursidah Kasim Bantilan, dan lainnya adalah Produk Kota Jogyakarta.
Kota yang sangat jauh dari persaingan kehidupan, kota yang menomor duakaan tampilan materi, sekaligus kota yang selalu mengandalkan Kecerdasan dan moralitas.
Tahun-tahun itu penulis masih menemukan mahasiswa UGM Fakultas kedokteran dan fakultas lainnya naik sepeda, berjalan kaki, makan di pinggiran trotoar dan sikap-sikap kesederhanaan lainnya.
Jogya telah merubah mental anak-anak Indonesia, yang dahulu di kampungnya egois, tidak sabaran, sombong, mengandalkan anak pejabat, anak pengusaha, tetapi secara pelan dan pasti semuanya itu ditinggalkan dan kembali kepada diri sendiri dengan kemampuan, kualitas dan kompetensi pribadi yang membawa kualitas moral, kualitas intelektual dan kecerdasan pribadi lainnya.
Bangsa dan negara ini tidak dapat berubah apabila pribadi-pribadi rakyatnya belum berubah, pribadi-pribadi keluarga Indonesia belum berubah, pribadi-pribadi di daerah-daerah belum berubah.
Jangan bermimpi orang-orang hebat yang ada di Kalimantan, Sulawesi hingga Papua mau merubah Indonesia dengan segala idealisme dan gagasan briliannya apabila pribadi, keluarga dan masyarakatnya belum berubah.
Cerita sahabat saya dari Maluku yang penuh semangat untuk membantu Rakyat Palestina dengan mengumpulkan sumbangan, sementara pembangunan masjid dan mushollah di depan rumahnya belum selesai hampir belasan tahun.
Small is beutifull, demikian sebuah buku yang menuliskan betapa hebat dan dahsatnya yang kecil itu. Kecil itu Indah, bernilai dan bermakna. Semuanya dimulai dari yang kecil-kecil.
Merubah Indonesia, merubah dahulu provinsi-provinsi nya, merubah kabupaten dan kota nya dan merubah desa-desa nya.
Discussion about this post