KONFLIK kewenangan penegakan aturan terhadap Pagar Laut di sepanjang Pantai Tangerang berbuah polemik. Perintah presiden dieksekusi TNI AL dibantu sejumlah kelompok masyarakat. Disisi lain Kementrian KKP merasa dilangkahi di atas fakta beredarnya HGB seluas 3 jt M2 oleh BPN Kab.Tangerang sejak 2023.
Pertanyaan pokok dari sisi pemerintahan, dimana kewenangan pemda dalam kerumitan kasus tersebut? Dengan memastikan kewenangan sebagai salah satu objek material pemerintahan, kita dapat mengetahui dimana peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dalam konteks penanganan Pagar Laut.
Menurut UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, komposisi kewenangan terdiri dari absolut, concurrent, dan pemerintahan umum. Dua kewenangan pertama dan terakhir lebih merupakan kewenangan pemerintah yang dapat mengalir melalui integreated field administration maupun functionale field administration (deconsentration).
Sementara kewenangan concurrent (baca; urusan bersama) dilakukan secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Urusan ini terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib sendiri terdiri dari pelayanan dasar dan bukan layanan dasar. Sisanya urusan pilihan, salah satunya urusan kelautan.
Konsekuensi urusan pilihan mengakibatkan daerah membentuk perangkat otonom seperti dinas kelautan. Daerah-daerah yang tak memiliki perairan laut dengan sendirinya tidak wajib membentuk perangkat dinas kelautan. Itulah mengapa Pemda di Pegunungan Papua tak punya dinas kelautan kecuali dinas pertanian.
Dulu, kewenangan Pemda Kabupaten/kota melalui diberi hingga 0-4 mil dari garis pantai. Sedangkan provinsi sendiri dibatasi sejauh 12 mil dari garis pantai. Di atas itu, kewenangan pusat termasuk urusan lintas provinsi dan negara. Pasca revisi dan lahirnya UU Cipta Kerja, kewenangan kabupaten/kota di tarik ke provinsi sejauh 0-12 mil (Pasal 27 ayat 3 UU 23/2014).
Prinsip-prinsip pembagian kewenangan sebenarnya telah ditentukan berdasarkan aspek efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, eksternalitas, dan strategis nasional. Dua prinsip terakhir dalam prakteknya seringkali disalah-gunakan karena kurangnya pengawasan.
Prinsip eksternalitas berkaitan dengan sejauhmana dampak yang ditimbulkan suatu urusan. Dalam kasus Pagar Laut di Tangerang kendatipun jaraknya kurang 12 mil dari garis pantai dapat berdampak luas sehingga penegakan aturan menjadi urusan bersama antara pusat dan daerah (concurrent).
Dampak Pagar Laut di Tangerang dapat melebar ke Jakarta sehingga membutuhkan keterlibatan Provinsi Banten dan DKJ. Selain itu karena menyangkut perairan luas yang dilalui kapal berskala nasional dan international dengan sendirinya kewenangan pusat tak mungkin dihindari. Semakin luas dampak semakin beralasan pemerintah pusat hadir.
Prinsip eksternalitas itulah yang tampak saat ini, dimana pemerintah melalui TNI AL dan KKP turut serta menegakkan aturan di Laut Tangerang. Kealpaan pemda dalam konteks ini kemungkinan karena ketidakcukupan wewenang mengelola laut sebagai urusan pilihan.
Provinsi Banten sebaiknya memanfaatkan kewenangan dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil guna menghindari munculnya patok liar dengan alasan Projek Strategis Nasional (PSN). Ketiadaan visi pemda terhadap kewenangan yang diberikan undang-undang potensial dimanfaatkan oligarki atas nama PSN.
Provinsi sebagai wakil pemerintah punya wewenang mengelola laut sesuai batas yang ditentukan. Pengelolaan itu mencakup eksploitasi, eksplorasi, dan konservasi. Pemda dapat mengembangkan sumber daya laut, pengawasan, pengendalian, serta infrastruktur. Ketidakpedulian pemda mengelola urusan pilihan yang menjadi kewenangan bersama pemerintah pusat pada akhirnya memberi karpet merah bagi oligarki. *
Discussion about this post