Oleh: Herdiyanto Yusuf
PERDEBATAN panas soal Danau Paisupok yang sepekan ini ramai di jagad maya sungguh memperlihatkan wajah ganda algoritma meta.
Algoritmalah yang membuat danau berair jernih di Banggai Kepulauan itu viral dan menjadi magnet wisatawan domestik bahkan mancanegara.
Namun algoritma pula yang memicu badai digital perselisihan di media sosial sekaligus menunjukan wajah bengisnya.
Tanpa bantuan algoritma; Instagram dan Facebook, Danau Paisupok mungkin tetap menjadi percikan surga yang indah, tapi kesepian.
Hanya sebuah remah di media sosial mampu memicu badai digital berkepanjangan.
Ibarat melempar kerikil kecil ke air tenang, riaknya membesar, lalu dengan dorongan algoritma tereskalasi menjadi gelombang luas yang berpotensi menimbulkan badai sosial yang jauh lebih besar.
Kerikil kecil itu hanyalah sebuah video pendek yang sejatinya mempromosikan keindahan Danau Paisupok.
Video viral dengan ribuan penonton itu keliru menempatkan Paisupok dalam administrasi wilayah.
Kreator yang diduga influencer dari luar daerah menyebut Paisupok berada di Banggai, padahal seharusnya masuk Kabupaten Banggai Kepulauan.
Kekeliruan yang seharusnya bisa dimaklumi, apalagi dilakukan orang yang tidak begitu memahami batas administratif di jazirah Sulawesi ini.
Namun apa lacur, komentar pedas terlanjur membanjiri kolom unggahan.
Hashtag bermunculan, trending, dan netizen terbelah dalam debat panas tentang identitas wilayah dan etnografi; Banggai atau bukan Banggai.
Kita hampir lupa bahwa sejatinya kita adalah Banggai Basudara.
Sejak pemekaran tahun 1999, Kabupaten Banggai terbagi menjadi Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut.
Pemisahan administratif itu sejauh ini tidak menciptakan sekat identitas yang sensitif.
Etnis Banggai, Saluan, Balantak, hingga Andio tetap hidup berdampingan dalam harmoni sejarah di wilayah Banggai Bersaudara.
Maka, jika sekarang kita tiba-tiba terjebak dalam narasi perpecahan, tentu hal itu terasa janggal—apalagi hanya dipicu hal remeh-temeh.
Algoritma media sosial memperkeruh suasana, mengamplifikasi komentar emosional, dan menciptakan echo chamber yang mempolarisasi warganet.
Di Facebook misalnya, puluhan unggahan memperlihatkan netizen Banggai Kepulauan menuntut klarifikasi, sementara yang lain menganggap isu ini terlalu dibesar-besarkan.
Identitas Bersaudara seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok. Dengan saling memahami, Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut akan tetap Basudara, bukan bakugara.
Jadikan Paisupok sebagai berkah bersama. Biarlah ia tetap menjadi danau yang menenangkan jiwa, bukan danau penyebar spok—ancaman dan ketakutan. *
Penulis lepas dan pekerja serabutan di Luwuk-Banggai, Sulawesi Tengah