Oleh: Muhadam Labolo
JUDUL di atas bermaksud menarik ajaran dan nilai agama guna melawan praktek korupsi yang kini bersifat endemik. Agama jelas-jelas membawa misi mulia yang bertolak-belakang dengan korupsi. Sedemikian kontras agama dan korupsi hingga menjadi isu yang tak sepi khususnya di negara-negara berkembang. Masalahnya, apakah peran agama dalam arti pengaruhnya terhadap upaya menihilkan gejala korupsi dalam masyarakat kekinian dan kedisinian.
Kekinian, sebab peran agama dalam tahun-tahun terakhir lebih terlihat sebagai simbol perlawanan otoritas (baca, kekuasaan) dibanding pemberantasan korupsi. Apakah itu berkelindan dengan korupsi pada rezim yang hendak ditumbangkan sebagaimana di timur tengah pasca arab spring, ataukah semata-mata ingin menggugat rezim otoritarianisme.
Kedisinian, bahwa peran religi lebih memperlihatkan militansi dalam perseteruan dengan otoritas pemerintah lewat pembubaran ormas yang berseberangan. Sementara indeks korupsi di Indonesia konsisten tumbuh pada skor 37 dengan posisi 102 dari 180 negara (TII, 2020). Pertanyaan yang sama, apakah perlawanan para pegiat agama terhadap otoritas adalah cerminan gerakan anti korupsi ataukah hanya alasan menuju agenda lain yang lebih besar. Perlu dicermati dengan teliti.
Penelitian Askari & Rehman (Global Economy Jornal, 2014) menunjukkan bahwa peran agama dalam konteks pemakmuran negara tak begitu signifikan. Itu mereka tunjukkan dengan membagi klaster negara-negara paling Islami. Salah satu indikator dari dua variabel pokok yaitu minimnya angka korupsi di negara-negara seperti Irlandia, Swedia, Luxemburgh, New Zealand, Swiss, Kanada dan Singapura. Dengan indeks 9,20 negara-negara tersebut melampui kemajuan mayoritas negara yang meletakkan dasar otoritas pada agama.
Penelitian Ahmet Kuru di Timur Tengah dan Afrika Utara (Islam, Otoritarianisme & Ketertinggalan, 2021) pun menunjukkan bahwa salah satu sebab ketertinggalan negara-negara tersebut karena keintiman agama pada negara tak serta-merta memproduk sinergitas positif. Keterpinggiran terjadi karena perselingkuhan aktor agama dengan otoritas negara hingga menyuburkan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme akut. Ini sedikit pertanda bahwa kontribusi agama belum banyak berperan mengubur perilaku korupsi yang justru dimusuhinya.
Bila dibandingkan dengan perkembangan sains memasuki abad 19 hingga dewasa ini. Terlihat jelas bahwa sains jauh lebih efektif menghambat pertumbuhan korupsi dibanding agama. Temuan teknologi informasi dengan segera membatasi perilaku korupsi lewat transaksi elektronik tanpa mesti bertatap muka secara langsung. Dengan semua revolusi sains, kita telah memaksa manusia tunduk pada sistem dan bukan sebaliknya. Manusia buruk dipaksa menjadi baik oleh metode sains yang dirancang sedemikian rupa.
Dari sini perlu dipikirkan, bagaimana transformasi agama dapat dilakukan agar mampu memberi kontribusi dominan bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, khususnya Indonesia. Kita perlu mempersoalkan itu, mengingat fungsi universalitas agama dalam menyelamatkan manusia dari perangai serakah. Keserakahan pada akhirnya dapat menciptakan konflik sesama akibat perebutan sumber daya. Dengan memanfaatkan sisi terbaik agama, kita dapat memperkecil peluang bagi tumbuh dan berkembangnya korupsi di negara-negara berkembang.
Di Jepang, Korea dan China, perilaku korupsi dapat ditekan seminimal mungkin dengan membangun kesadaran budaya. Budaya malu (shy culture) sengaja ditumbuhkan sejak kecil. Nilai ini diadaptasi dari tradisi agama nenek moyang seperti Shintoisme, Taoisme dan Budhisme. Sementara di barat, perilaku anti korupsi dilawan dengan membangun kesadaran rasa bersalah (guilt culture). Nilai ini diadaptasi dari etika protestan dan katholik. Lepas dari itu, meski jarak agama dan negara terkadang bersifat sekularistik, namun kontribusi tradisi dan agama secara individual berperan menciptakan komunitas bernegara yang relatif minim korupsi.
Di negara-negara berkembang, agama terlihat belum banyak berperan. Agama dominan menjadi ajang politik praktis. Agama tak hanya sering dieksploitasi, bahkan diperkosa untuk tujuan tertentu. Akibatnya, wajah agama dalam berbagai aksi jauh dari kesucian dibanding sains yang melompat jauh. Padahal ghirah agama setiap tahun terus berkembang hingga quota beribadah meluber. Tapi gerakan agama baru sebatas pada perasaan (militansi beragama) ketimbang upaya melawan kejahatan sosial seperti praktek korupsi.
Agama bukan hanya perkara perasaan dan hati. Tak jarang antusiasme perasaan berlebihan berdampak ngawur dan mengerikan. Apalagi bila agresi dihayati sebagai kesholehan. Dalam kompleksitas hidup dan peradaban ini, agama perlu dijernihkan dan dimatangkan oleh akal budi. Hati dan perasaan pun perlu diasah dan dididik oleh nalar. Meskipun sebaliknya juga benar (Sugiharto, 2021).
Tapi yang lebih pokok barangkali bahwa agama adalah soal perbuatan (amal sholeh). Bukan semata perkara institusi atau proposisi (dogma). Dan agama, dogma, serta kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu sendiri. Dunia agama mesti berani meletakkan Tuhan sang kebenaran itu sebagai sesuatu yang masih terus dicari dan didekati. Keyakinan berlebihan bahwa kebenaran ilahi sudah ada di tangan mudah sekali membuat kita merasa mampu membaca pikiran Tuhan. Bahayanya, hanya selangkah dapat menganggap diri kita Tuhan itu sendiri. Lantas dengan mudah mengadili dan menghukum orang lain.
Akhirnya, untuk menjernihkan interaksi kita dari wabah korupsi, agama perlu ditransformasikan dengan serius lewat institusi keluarga, organisasi kependidikan, organisasi kemasyarakatan, serta perilaku kepemimpinan dari tingkat terbawah hingga atas. Keempat institusi itu mesti diintervensi secara simultan lewat kurikulum & nilai agama yang substansial. Lebih dari itu agama mesti lebih diperlihatkan dalam praktek dibanding men-sakralkan doktrin yang menutup fungsi agama dari hal lain. Dengan menjadikan korupsi sebagai musuh agama, maka peluang korupsi di semua level semakin sempit dan tak berdaya. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post