Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
Pemilihan Presiden 2029 akan menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak 2009, nama Prabowo Subianto besar kemungkinan tidak akan tampil dalam daftar calon presiden.
Setelah empat kali mencalonkan diri dan akhirnya memenangkan Pilpres 2024 Prabowo dipastikan tidak lagi berlaga karena faktor usia dan konstitusi.
Absennya tokoh karismatik ini membuka ruang spekulasi dan dinamika baru dalam lanskap politik nasional.
Selama hampir dua dekade, Prabowo menjadi figur sentral dalam politik Indonesia, baik sebagai oposisi maupun penguasa.
Ketika ia akhirnya menang dan menjabat sebagai Presiden RI pada periode 2024–2029, konsolidasi kekuatan politik yang sebelumnya tercerai-berai mulai mengerucut.
Namun, tanpa Prabowo di 2029, kekuatan politik kanan nasionalis, khususnya Gerindra, menghadapi tantangan regenerasi yang serius.
Siapa yang bisa mengisi kekosongan itu? Apakah Sandiaga Uno, Ahmad Muzani, atau tokoh-tokoh muda lain dari dalam partai akan cukup kuat secara elektoral?
Dengan Prabowo pensiun dari gelanggang politik, partai-partai akan didorong untuk mengusung figur baru yang lebih segar, progresif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
PDIP kemungkinan akan terus memoles kader internal seperti Puan Maharani atau Ganjar Pranowo, sementara Golkar, Nasdem, dan PKB akan berlomba mengusung tokoh muda dari kalangan profesional maupun kepala daerah sukses.
Tak menutup kemungkinan munculnya figur kejutan dari luar struktur partai—akademisi, teknokrat, atau bahkan influencer politik digital.
Tanpa bayang-bayang tokoh besar seperti Prabowo atau Jokowi, Pilpres 2029 berpotensi menjadi panggung gagasan. Isu-isu seperti transisi energi, revolusi digital, ketimpangan sosial, dan reformasi birokrasi bisa menjadi tema utama dalam kontestasi.
Pemilih muda, yang akan mendominasi jumlah DPT, menjadi kunci utama arah politik baru ini.
Mereka lebih kritis, terbuka, dan menuntut transparansi serta efektivitas. Pertanyaannya kini: siapkah demokrasi kita tanpa figur sentral seperti Prabowo?
Ketiadaan tokoh besar bisa menjadi momen emas untuk mendewasakan kultur politik yang selama ini cenderung personifikasi dan kultus individu.
Namun, bisa juga menjadi celah bagi populisme semu, politik uang, atau polarisasi identitas jika tidak disiapkan dengan matang oleh semua elemen bangsa—parpol, media, masyarakat sipil, dan penyelenggara pemilu.
Pilpres 2029 tanpa Prabowo adalah babak baru yang penuh ketidakpastian, tapi juga menjanjikan harapan.
Ini adalah kesempatan langka untuk membentuk narasi politik yang lebih sehat, berbasis program dan visi kebangsaan, bukan semata loyalitas terhadap figur.
Masa depan Indonesia tak boleh ditambatkan pada satu tokoh. Ia harus ditopang oleh sistem yang kuat, regenerasi kepemimpinan yang berkelanjutan, dan partisipasi publik yang cerdas.
Prabowo Akan Mendorong Dedi Mulyadi, AHY hingga Amran Sulaiman Berkompetisi dalam Pilpres 2029
Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2029, spekulasi mengenai siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan nasional mulai mencuat.
Di tengah persiapan menuju Pemilu 2029, sinyal politik dari lingkaran dalam Prabowo mulai menguatkan kemungkinan bahwa ia akan mendorong beberapa tokoh muda dan berpengalaman untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Bersambung halaman selanjutnya
Discussion about this post