DKISP Kabupaten Banggai

Kolom Muhadam

Puasa dan Pemurnian Jiwa

320
×

Puasa dan Pemurnian Jiwa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhadam Labolo

PUASA, dalam kontektualisasi religi mengandung aneka makna. Satu diantaranya pemurnian jiwa (nafs). Jiwa diasumsikan tercemar dosa. Entah itu dosa individu maupun kolektif yang berefek-tular pada lingkungan. Lingkungan terpolusi itu bisa jadi domestik, komunitas, maupun organisasi. Sumbernya bisa macam-macam, salah satunya kecenderungan untuk menilai (Subhi, 2018).

Kecenderungan menilai memang sulit diatasi. Apalagi berhadapan dengan gawai. Hidup kita seakan dikendalikan oleh luapan informasi hingga terasa sunyi dalam keramaian, namun ramai dalam kesunyian. Isi kepala kita dijejali berbagai isu. Sedemikian melimpah hingga kesulitan terbesarnya adalah menapis mana sampah dan mana nutrisi, mana kulit dan mana isi, mana kebenaran dan mana kepalsuan (hoax). Semua di telan bulat-bulat.

Menilai adalah kerja pikiran, dan karenanya penilaian berarti produk pikiran. Agar telaga kesadaran kita jernih kembali maka cara membuangnya dengan mengurangi atau berhenti menilai. Dengan begitu kita sedang mengosongkan ruang pikiran dari kotoran menilai. Folder yang kosong itu kita isi dengan makanan jiwa. Mungkin banyak makanan jiwa, satu diantaranya religi. Religi dipercaya berabad-abad lamanya sebagai obat penawar jiwa.

Baca:  Mereposisi Kembali Status Gubernur

Jiwa-jiwa yang kembali pulih lazimnya menjadi tenang, seakan kembali kepada Tuhan dalam sukacita dan dicintai. Segenap jiwa diantar dan bergabung dalam ruang yang dijanjikan, surgawi (QS Al Fajr 27-30). Tak banyak yang pulih, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh melakukan pemurnian jiwa sebulan penuh. Proses pemurnian itu tanpa sadar akan menyisihkan kita dari kemenangan jiwa dan raga.

error: Content is protected !!