Surat terbuka Denny Indrayana ditujukan ke DPR yang diposting pada akun Twitter pribadinya dari Melbourne, Australia tanggal 7 Juni 2023, dan dimuat dalam pemberitaan FAJAR.CO.ID (Rabu, 7/6), antara lain menyatakan:
“Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment (pemakzulan) karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Sering saya katakan, sebagai perbandingan, Presiden Richard Nixon terpaksa mundur karena takut dimakzulkan akibat skandal Watergate. Yaitu, ketika kantor Partai Demokrat Amerika dibobol untuk memasang alat sadap. Pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi jauh lebih berbahaya, sehingga lebih layak dimakzulkan”.
“Berikut adalah dugaan pelanggaran impeachment, yang dalam pandangan saya patut diselidiki oleh DPR melalui Hak Angket. Satu, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menghalangi Anies Baswedan menjadi calon presiden. Bukan hanya Jusuf Wanandi (CSIS), yang dalam acara Rosi di Kompas TV, haqul yakin memprediksi bahwa pihak penguasa akan memastikan hanya ada dua paslon saja yang mendaftar di KPU untuk pilpres 2024. Saya sudah lama mendapatkan informasi bahwa memang ada gerakan sistematis menghalang-halangi Anies Baswedan”.
“Saya bertanya kepada Rachland Nashidik kenapa Presiden keenam SBY di pertengahan September 2022 menyatkan akan turun gunung mengawal Pemili 2024. Menurut Rachland, hal itu karena seorang tokoh bangsa yang pernah menjadi wakil presiden menyampaikan informasi yang meresahkan kepada Pak SBY. Sebelumnya, Sang Tokoh bertemu dengan Presiden Jokowi dan dijelaskan bahwa pada Pilpres 2024 hanya akan ada dua capres, tidak ada Anies Baswedan yang akan dijerat kasus di KPK.”
“Dua, Presiden Jokowi membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengganggu kedaulatan Partai Demokrat , dan ujungnya pun menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai calon presiden dalam pilpres 2024”.
“Tidak mungkin Presiden Jokowi tidak tahu, Moeldoko sedang cawe-cawe mengganggu Partai Demokrat, terakhir melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Anggaplah Presiden Jokowi tidak setuju dengan langkah dugaan pembegalan partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko tersebut, Presiden terbukti membiarkan pelanggaran undang-undang partai politik yang menjamin kedaulatan setiap parpol”.
“Tiga, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres cawapres menuju pilpres 2024. Berbekal penguasaannya terhadap Pimpinan KPK yang baru saja diperpanjang masa jabatannya oleh putusan MK, Presiden mengarahkan kasus mana yang dijalankan, dan kasus mana yang dihentikan, termasuk oleh kejaksaan dan kepolisian”.
“Ketika Soetrisno Bachir menanyakan, kenapa PPP tidak mendukung Anies Baswedan padahal mayoritas pemilihnya menghendaki demikian, dan akibatnya PPP bisa saja hilang di DPR pasca pemilu 2024, Arsul Sani menjawab, ‘PPP mungkin hilang di 2024 jika tidak mendukung Anies, tetapi itu masih mungkin. Sebaliknya, jika mendukung Anies sekarang, dapat dipastikan PPP akan hilang sekarang juga’, karena bertentangan dengan kehendak penguasa”.
“Demikianlah laporan dugaan pelanggaran impeachment Presiden Joko Widodo ini saya sampaikan. Meski sadar bahwa konfigurasi politik di DPR saat ini sulit memulai proses pemakzulan, sebagai warga negara yang mengerti konstitusi, saya berkewajiban menyampaikan laporan ini. Saya tidak rela UUD 1945 terus dilanggar oleh Presiden Joko Widodo demi cawe-cawenya, yang bukanlah untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi dalam pandangan saya adalah semata untuk kepentingan pribadi dan demi oligarki bisnis dibelakangnya”.
Aspirasi Denny Indrayana tersebut, tentu saja mendapat reaksi dari parpol pendukung Presiden Jokowi. Salah satunya dilontarkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, “Kalau belum-belum ada yang mengatakan akan terjadi chaos, kemudian ada yang mengatakan sebelumnya pemilu curang, ya ini kan menggunakan cara pandang sendiri, termasuk Bung Denny Indrayana. Beliau ini kan sosok akademis yang seharusnya berbicara dengan kerangka berfikir intelektual. Jangan berbicara berdasarkan perasaan apalagi berbicara mengenai pemakzulan,” imbuhnya (GATRA.COM, 7/6).
Selain Hasto, politisi pendukung pemerintahan Jokowi, anggota Komisi 3 DPR dari Fraksi PPP, H. Arsul Sani, S.H.M.Si,LL.D, juga bereaksi dengan mengatakan, “DPR tidak akan menanggapi dan melayani permintaan Denny Indrayana. Yang dilakukannya dengan surat atau postingan terbuka itu tidak lebih dari kegenitan politik,” ujar Arsul kepada wartawan (CNN Indonesia, 7/6).
Tapi lain lagi tanggapan dari politisi kubu oposisi. Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Prof. Dr. H. Sjarifuddin Hasan, M.M,MBA yang lebih dikenal dengan sapaan Syarif Hasan, mengatakan “Ya, kita lihat saja nanti perkembangannya. Banyak jalan menuju ke Roma, banyak jalan untuk menegakkan kebenaran” (CNN Indonesia, 7/6).
Dan menurut saya (Aswan Ali/penulis), bola panas terkait cawe-cawe politik Presiden Jokowi, itu masih akan menggelinding terus. Apakah tekanan suhunya akan semakin tinggi ataukah terjadi pendinginan (cooling dawn)?. Seperti kata Pak Syarif Hasan, “Ya, kita lihat saja nanti perkembangannya”. Yang jelas ada juga pihak oposisi dari kubu “parlemen jalanan” yang mulai mencari alternatif melalui opsi “people power”.*
Penulis adalah advokat dan Aktivis LSM Yayasan Forum Kedaulatan Rakyat (Yasfora).
Discussion about this post